Rumoh Geudong Disulap Jadi Taman Pemulihan HAM, Negara Hadir untuk Menyambung Kemanusiaan

Share

NUKILAN.ID | SIGLI – Situs bekas kekerasan negara di Desa Bili, Pidie, kini menjelma menjadi ruang harapan. Kamis pagi, 10 Juli 2025, Wakil Menteri Hak Asasi Manusia (WamenHAM) Mugiyanto bersama Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan Yusril Ihza Mahendra meresmikan Memorial Living Park Rumoh Geudong—sebuah taman pemulihan yang dibangun di atas lokasi yang pernah menyimpan jejak kelam pelanggaran HAM berat masa konflik Aceh.

Kompleks memorial seluas lebih dari 7.000 meter persegi itu tak hanya menjadi simbol pengakuan negara atas luka sejarah, tetapi juga komitmen untuk merawat perdamaian secara bermartabat.

“Kita tidak sedang membuka luka lama, tetapi membangun jembatan pemulihan untuk menyambung kembali kemanusiaan dan persaudaraan kita yang pernah terkoyak,” ujar Mugiyanto dalam pidatonya yang disambut hening penuh khidmat oleh para penyintas, pejabat, dan masyarakat yang hadir.

Rumoh Geudong, dalam ingatan kolektif warga Aceh, adalah salah satu lokasi paling kelam dalam sejarah konflik. Rumah itu disebut-sebut menjadi tempat penyiksaan, intimidasi, bahkan pembunuhan di luar hukum selama operasi militer di masa lalu.

Kini, situs tersebut telah ditransformasi menjadi Memorial Living Park—taman ingatan sekaligus harapan. Di dalamnya berdiri monumen peringatan, taman damai, masjid, ruang edukasi HAM, serta sarana umum seperti menara air dan sumur bor yang juga dapat dimanfaatkan warga sekitar.

Menurut Mugiyanto, taman ini bukan sekadar proyek infrastruktur, melainkan bagian dari pemulihan non-yudisial bagi korban pelanggaran HAM berat yang diamanatkan konstitusi.

“Pemulihan ini bukan semata belas kasihan, tapi bentuk nyata penghormatan terhadap martabat kemanusiaan. Negara wajib hadir,” tegasnya.

Tiga Pilar: Pengakuan, Pemulihan, dan Pencegahan

Pembangunan taman memorial ini menjadi bentuk konkret implementasi prinsip hak asasi manusia, khususnya pengakuan korban, pemulihan yang menyeluruh, dan jaminan ketidakberulangan. Dalam kerangka keadilan transisional, ketiga elemen ini menjadi syarat penting untuk menyelesaikan luka masa lalu secara adil.

Mugiyanto menegaskan, pemerintah tidak hanya ingin mengakui tragedi masa lalu, tapi juga mengambil pelajaran darinya untuk membangun masa depan yang lebih berkeadilan. Pemerintah, sebutnya, berkomitmen memberikan dukungan jangka panjang kepada penyintas, mulai dari bantuan sosial, layanan kesehatan, pemberdayaan ekonomi hingga akses pendidikan.

“Semoga taman ini menjadi pengingat dan penguat komitmen kita semua, bahwa pelanggaran HAM berat tidak boleh terjadi lagi di bumi Indonesia,” katanya.

Kolaborasi Multipihak dan Ruang Peradaban

Pembangunan Memorial Living Park disebut tak lepas dari kolaborasi antara pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan masyarakat sipil. Kementerian Hukum dan HAM memastikan pengelolaan taman ini akan dilakukan secara partisipatif, termasuk melibatkan para penyintas dalam prosesnya.

“Kami ingin taman ini menjadi pusat peradaban, bukan hanya tempat mengenang. Sebuah ruang hidup tempat nilai-nilai kemanusiaan terus tumbuh melalui tindakan nyata,” ujar Mugiyanto.

Taman ini diharapkan menjadi ruang terbuka yang tidak hanya menyimpan cerita masa lalu, tetapi juga menjadi arena dialog lintas generasi tentang perdamaian, hak asasi, dan keadilan transisional—isu-isu penting yang selama ini kerap absen dari wacana publik.

Dengan kehadiran Memorial Living Park, Rumoh Geudong tidak lagi menjadi simbol ketakutan, melainkan titik balik menuju penguatan nilai-nilai kemanusiaan yang inklusif dan lestari. Sebuah langkah yang menandai kehadiran negara bukan sebagai pelupa sejarah, melainkan penjamin agar sejarah kelam tak terulang.

Editor: AKil

spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img

Read more

Local News