NUKILAN.ID | BANDA ACEH — Sejak tahun 2020 hingga pertengahan 2025, total royalti dari sektor pertambangan di Provinsi Aceh yang disetor ke kas negara telah mendekati angka Rp 2 triliun. Angka tersebut menunjukkan tren kenaikan signifikan dalam tiga tahun terakhir.
Kepala Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Aceh, Taufik, mengatakan bahwa lonjakan penerimaan ini menjadikan sektor tambang sebagai salah satu kontributor utama terhadap penerimaan negara dari daerah.
“Dalam tiga tahun terakhir, khususnya sejak 2022, nilai royalti terus meningkat. Pada tahun 2023 hingga 2024 saja, tercatat sekitar Rp 500 miliar per tahun masuk ke kas negara,” ujar Taufik, Selasa (1/7/2025).
Meski dana tersebut masuk ke pemerintah pusat, sebagian besar royalti akan dikembalikan ke daerah, dengan skema pembagian yang telah diatur secara proporsional.
“Sebanyak 80 persen dari royalti itu dikembalikan ke daerah. Kabupaten atau kota penghasil mendapatkan 32 persen, ditambah 8 persen lagi jika mereka memiliki fasilitas pengolahan. Provinsi menerima 16 persen, dan sisanya 20 persen tetap untuk pusat,” jelasnya.
Dengan skema itu, daerah penghasil yang memiliki pabrik pengolahan bisa mengantongi hingga 40 persen dari total royalti tambang yang disetorkan.
Aceh sendiri dikenal memiliki kekayaan tambang yang cukup beragam, mulai dari batu bara, mineral logam, non-logam, hingga tambang batuan skala kecil. Berdasarkan data Dinas ESDM Aceh, hingga pertengahan 2025 tercatat 18 Izin Usaha Pertambangan (IUP) batu bara, 33 IUP mineral logam, 15 IUP non-logam, dan 3 izin tambang batuan kecil yang tersebar di berbagai wilayah.
Taufik menyebutkan bahwa Aceh Barat menjadi penyumbang terbesar royalti tambang batu bara. Sementara itu, aktivitas tambang logam paling banyak ditemukan di kawasan pantai barat provinsi ini.
Kendati demikian, ia mengakui masih ada sejumlah tantangan dalam pengelolaan pertambangan di Aceh, termasuk perlambatan transisi dari tahap eksplorasi menuju produksi.
“Kalau dikelola dengan prosedur dan regulasi yang benar, tambang bisa menyerap banyak tenaga kerja lokal dan meningkatkan pendapatan daerah,” ungkapnya.
Lebih lanjut, Taufik menjelaskan bahwa proses perizinan tambang harus melewati beberapa tahapan administrasi dan teknis, mulai dari tingkat desa hingga kabupaten. Setelah itu, dokumen akan diajukan ke Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) dan dievaluasi secara teknis oleh Dinas ESDM sebelum diterbitkan izin resmi.
Sektor tambang di Aceh memang menyimpan potensi besar. Namun, keberlanjutan dan manfaatnya bagi masyarakat sangat bergantung pada tata kelola yang transparan, akuntabel, dan berpihak pada kepentingan daerah.