NUKILAN.id | Opini – Kehadiran pengungsi Rohingya di Aceh sejak 2009 menyulut perdebatan yang tak berkesudahan. Di satu sisi, sebagai sesama Muslim, masyarakat Aceh merasa punya kewajiban moral dan religius untuk menolong. Namun di sisi lain, kebijakan hukum dan birokrasi nasional membatasi peran daerah, menjadikan isu ini tak sepenuhnya berada di tangan pemerintah provinsi atau kabupaten. Situasi ini mempertanyakan, di manakah sebenarnya letak peran kemanusiaan dan batasan hukum dalam persoalan pengungsi ini?
Antara Tanggung Jawab dan Kewenangan
Pengungsi Rohingya di Aceh bukanlah fenomena baru. Mereka hadir akibat pergolakan dan kekejaman yang berlangsung di Myanmar, yang tidak mengakui Rohingya sebagai warga negara. Dengan harapan menyeberang ke Malaysia, banyak yang justru berlabuh di Aceh—wilayah yang menyambut mereka karena nilai-nilai keislaman dan tradisi lokal yang menghormati tamu. Sayangnya, sebagai daerah, Aceh tidak memiliki kuasa dalam mengelola pengungsi asing, merujuk pada Peraturan Presiden Nomor 125 Tahun 2016 tentang Penanganan Pengungsi. Pemerintah provinsi tidak memiliki wewenang atau anggaran untuk menangani masalah ini. Semua tanggung jawab ada pada pemerintah pusat.
Namun demikian, masyarakat Aceh tak bisa berpaling begitu saja. Bagi mereka, menolong pengungsi bukan sekadar masalah legalitas, tetapi juga amanah agama dan adat. Hukum Islam, khususnya dalam fikih siasah, mengamanatkan hak-hak tertentu bagi para pencari suaka. Ini menjadi dasar bagi masyarakat Aceh untuk menerima dan melindungi para pengungsi.
Dilema Kemanusiaan dan Tantangan Hukum
Meski memiliki tanggung jawab moral, masyarakat Aceh tidak bisa mengabaikan aspek hukum dan birokrasi. Presiden telah menetapkan aturan bahwa daerah hanya sebatas menyediakan tempat penampungan sementara. Kewenangan lainnya tetap berada di tangan pemerintah pusat. Tentu, ini menimbulkan dilema tersendiri, terlebih bagi pemerintah Aceh yang dibatasi oleh regulasi dan anggaran yang tidak boleh dialokasikan untuk pengungsi. Akibatnya, kehadiran pengungsi Rohingya menjadi isu yang rentan, terutama karena berbagai provokasi dari pihak-pihak yang menginginkan mereka ditolak.
Kondisi ini memerlukan revisi Peraturan Presiden agar pemerintah daerah memiliki peran lebih dalam menangani pengungsi. Tanpa keterlibatan daerah, penanganan pengungsi tidak akan efektif. Situasi yang dihadapi Aceh sekarang adalah kekosongan kebijakan yang memungkinkan masalah ini terus berlanjut tanpa solusi konkret.
Peran Lembaga Internasional
Sejatinya, masalah pengungsi Rohingya bukan hanya tanggung jawab Indonesia, melainkan juga lembaga internasional seperti UNHCR dan IOM. Meskipun Indonesia tidak meratifikasi Konvensi PBB tahun 1951 tentang Pengungsi, lembaga-lembaga ini tetap memiliki kewajiban untuk memastikan keselamatan dan masa depan pengungsi. Pengungsi Rohingya di Aceh bukanlah beban lokal, melainkan dampak dari ketidakadilan global yang memerlukan tanggapan dunia. Pemerintah Myanmar yang terus menyangkal status kewarganegaraan Rohingya telah membuat mereka menjadi warga dunia tanpa negara.
Kewajiban Kemanusiaan dan Ukhuwah Islamiyah
Di sisi lain, masyarakat Aceh didorong oleh nilai ukhuwah Islamiyah, solidaritas sesama Muslim. Dalam konteks ini, menolak pengungsi berarti melanggar prinsip yang mendasar dalam agama Islam: kewajiban membantu dan menolong sesama Muslim yang tertindas. Sebagai tamu yang hadir dalam kondisi darurat, para pengungsi selayaknya diperlakukan dengan penghormatan, sebagaimana nilai adat Aceh yang sangat menjunjung tinggi tamu.
Namun, tidak dapat diabaikan bahwa masyarakat pun memiliki batas dalam menanggung beban yang seharusnya menjadi tanggung jawab pemerintah. Tugas masyarakat seharusnya terbatas pada menyelamatkan dan membantu pengungsi saat tiba, bukan mengelola keberlanjutan hidup mereka. Sementara itu, pemerintah pusat bersama lembaga internasional seharusnya mengambil alih peran lebih besar.
Mengatasi Stigma dan Ketakutan
Sayangnya, berbagai isu telah memperkeruh suasana. Ketakutan bahwa kehadiran pengungsi akan menimbulkan masalah sosial atau ekonomi telah mendorong sebagian warga untuk menolak. Sejatinya, pola pikir yang menganggap pengungsi sebagai ancaman harus dihindari. Narasi provokatif yang mempersepsikan mereka sebagai bahaya bagi masyarakat lokal sama sekali tidak berdasar. Aceh, yang sudah lama menjadi persinggahan para pencari suaka, mestinya mampu melihat masalah ini dengan pandangan lebih bijak. Pengungsi tidak serta merta datang dengan niat menetap di Aceh. Sebagian besar hanya ingin mencapai tempat tujuan lain.
Refleksi untuk Masa Depan
Isu pengungsi Rohingya memerlukan solusi yang komprehensif. Regulasi nasional perlu disesuaikan dengan kebutuhan lokal, terutama bagi Aceh yang menjadi wilayah pertama yang bersinggungan dengan para pengungsi. Ke depan, revisi Peraturan Presiden akan memungkinkan pemerintah daerah lebih berperan aktif, termasuk dalam koordinasi dengan lembaga internasional dan masyarakat setempat. Sebab, pada akhirnya, menjaga kemanusiaan adalah tanggung jawab bersama.
Kasus pengungsi Rohingya di Aceh bukan hanya persoalan lokal atau nasional, tetapi juga sebuah pengingat bagi dunia tentang pentingnya solidaritas dan keadilan global. (XRQ)
Penulis: Akil Rahmatillah