Ribut-ribut Saran Cabut Qanun KKR

Share

Nukilan.id – Saran Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Aceh untuk mencabut Qanun Nomor 17 Tahun 2013 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) menuai protes dan kritik dari berbagai elemen masyarakat sipil di Aceh. Upaya ini dinilai bertentangan dengan upaya penyelesaian kasus pelanggaran HAM selama konflik bersenjata dulu dan pemenuhan hak-hak korban konflik.

Sebelumnya, Pemerintah Pusat melalui Pelaksana Harian (Plh) Sekretaris Direktorat Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) RI, Suryawan Hidayat menyarankan kepada Pemerintah Aceh untuk mencabut Qanun Nomor 17 Tahun 2013 tentang KKR dan mulai berpedoman pada ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Selain itu, terdapat kesalahan penulisan dalam surat yang dilayangkan kepada Pemerintah Aceh tersebut menanggapi surat Plh Sekretaris Daerah Aceh Nomor:100.3/11557 tanggal 23 September 2024 terkait Permohonan Fasilitasi Rancangan Qanun Aceh tentang Perubahan Atas Qanun Aceh Nomor 17 Tahun 2013 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di Jakarta, Kamis (7/11/2024).

Dalam surat tersebut dituliskan bahwa terkait dengan kerja-kerja rekonsiliasi setelah Qanun KKR ini dicabut akan dileburkan ke dalam Badan Rekonsiliasi Aceh. Padahal dalam kenyataannya, tak ada badan atau instansi pemerintah di Aceh yang bernama Badan Rekonsiliasi Aceh. Yang ada hanyalah Badan Reintegrasi Aceh (BRA).

Tak Ada Landasan Hukum

Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Aceh, Azharul Husna menyimpulkan Pemerintah Pusat tidak teliti dalam menyampaikan suratnya kepada Pemerintah Aceh terkait kesalahan penulisan nama BRA menjadi Badan Rekonsiliasi Aceh. Selain itu, kata Husna, BRA tidak pernah melakukan kerja-kerja rekonsiliasi sebelumnya.

“Yang kedua, kalau kita bilang kerja-kerja rekonsiliasi dilebur ke dalam BRA, nampaknya mustahil dilakukan karena dalam mandatnya BRA tidak ada kerja-kerja rekonsiliasi. Itu kan sesuatu yang nggak bisa dilakukan,” ujar Azharul Husna kepada Nukilan, Kamis (21/11/2024).

Husna menambahkan, landasan hukum keberadaan KKR Aceh bukanlah Undang-undang (UU) Nomor 27 Tahun 2004 tentang KKR, tapi semangat perdamaian Aceh dan UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA) yang berbicara tentang kekhususan Aceh. UU Nomor 27 Tahun 2004 tentang KKR yang menjadi dasar hukum pembentukan KKR Aceh telah dicabut berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) pada 2006 lalu.

“Seharusnya Qanun KKR ini dihormati karena KKR Aceh itu lahir lantaran kekhususan Aceh dengan semangat perdamaian. Jadi seharusnya nggak ada problem,” kata Husna.

Hal senada disampaikan mantan Ketua KKR Aceh periode 2016-2021, Afridal Darmi. Dia menegaskan saran Plh Sekretaris Direktorat Jenderal Otonomi Daerah Kemendagri RI itu tidak ada landasan hukumnya. Jika dikatakan qanun tersebut harus dicabut karena UU Nomor 27 Tahun 2004 tentang KKR sudah dicabut, status UU tersebut sendiri sudah tidak ada sejak 2006 atau sekitar 18 tahun yang lalu. Sementara Qanun Nomor 17 Tahun 2013 lahir tanpa kehadiran UU KKR.

“Jadi sebenarnya nggak ada sangkut pautnya dengan saran dari Sekretaris Dirjen Otda Kemendagri itu. Makanya saya waktu mendengar tanggapan itu, lelah sendiri saya. Karena kita kembali lagi ke debat-debat yang nggak produktif. Itu hanya bersifat imbauan,” ujar Afridal Darmi, Kamis (21/11/2024).

Afridal Darmi menceritakan saat dia masih menjabat sebagai Ketua KKR Aceh dulu, pihaknya sudah pernah melakukan audiensi dengan Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam) Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) dan Kemendagri RI di Jakarta pada 2017 lalu.

Dalam audiensi tersebut, perwakilan tiga kementerian ini menyatakan bahwa mereka menghormati keberadaan KKR Aceh yang saat itu sudah berjalan selama satu tahun. Mereka juga sepakat untuk tidak mengusut lagi masalah soal peraturan hukum yang berbenturan dengan keberadaan KKR Aceh. Padahal pencabutan UU Nomor 27 Tahun 2004 tentang KKR sudah dilakukan sejak tujuh tahun sebelumnya.

“Karena saat itu setiap pihak yang ingin mencabut tidak bisa karena Qanun KKR itu ada dasar hukumnya, termasuk di dalamnya dua putusan Mahkamah Konstitusi. Salah satunya menyarankan membuka peluang dilakukannya penyelesaian secara politik. Poin inilah yang dijadikan sebagai argumentasi untuk menghargai inisiatif seperti yang terjadi di Aceh (pembentukan KKR Aceh),” sebut advokat dan mantan Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Banda Aceh itu.

Penyelesaian Kasus Pelanggaran HAM

Pada 2019 lalu, UU Nomor 27 Tahun 2004 tentang KKR yang sebelumnya sudah dibatalkan oleh MK mulai diperbincangkan kembali. Upaya pembentukan KKR ini dinilai perlu untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM masa lalu di Indonesia. Menkopolhukam saat itu, Mahfud Md sekembalinya dari kunjungan kerja ke Papua pada awal Desember 2019 mengatakan ada usulan dari tokoh Papua untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM di Papua melalui KKR.

“Sudah belasan tahun reformasi, kami ingin menyelesaikan masalah HAM masa lalu. Setelah dipetakan, ada yang sudah diadili, ada yang tidak ditemukan objek maupun subjeknya, sehingga perlu dicari seperti apa sih kebenarannya, lalu rekonsiliasi,” kata Mahfud di kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta Pusat, dikutip Nukilan dari Indonesia.go.id, Rabu, 11 Desember 2019.

Wakil Ketua Komnas HAM RI, Amiruddin menyampaikan bahwa pemerintah belum mampu mencari jalan keluar dalam rangka menyelesaikan pelanggaran HAM yang terjadi di masa sistem politik yang tidak demokratis. Karena itu lembaga KKR Nasional diperlukan bukan hanya sebagai medium pemberian hukum, namun idealnya juga menjadi alat pengungkap kebenaran dari peristiwa pelanggaran HAM berat di masa lalu.

Amiruddin menjelaskan untuk membentuk KKR yang efektif diperlukan tujuan dasar sebagai landasannya. Salah satunya yaitu untuk memperbaiki berbagai kerusakan yang ditimbulkan dari terjadinya pelanggaran HAM. Kemudian jika pembentukan KKR ini berhasil dan diterima oleh semua pihak, maka ia akan menjadi pegangan untuk mencegah berulangnya pelanggaran HAM di masa yang akan datang.

“Tanpa mengungkap kebenaran tidak ada gunanya. Pengungkapan kebenaran menjadi upaya dalam memenuhi hak untuk tahu, bukan hanya kepada korban, tetapi juga kepada bangsa Indonesia,” tutur Amiruddin, dilansir dari laman resmi Komnas HAM, Rabu, 22 Desember 2021.

Lembaga KKR Nasional ini juga diperlukan Pemerintah Indonesia karena Indonesia pada saat itu menghadapi tantangan dari Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) yang mengancam akan membentuk pengadilan internasional atau international tribunal untuk mengadili Pemerintah Indonesia terkait pelanggaran HAM yang telah dilakukan.

Pada 2004, Menteri Koodinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan saat itu, Yusril Ihza Mahendra akhirnya membentuk UU Nomor 27 Tahun 2004 tentang KKR ketika menjabat sebagai Menteri Hukum dan HAM pada periode Presiden ke-5 RI, Megawati Soekarnoputri.

“Kementerian kita pada waktu itu berhasil membentuk undang-undang sekaligus membentuk pengadilan HAM adhoc dan juga menyelesaikan Rancangan Undang-Undang tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi,” ujar Yusril dalam acara penyambutan menteri dan wakil menteri kabinet baru di Kementerian Hukum dan HAM, Jakarta, dikutip dari Antara, Senin (21/10/2024).

Namun, pada 2006, UU KKR itu dicabut oleh MK. Dalam Putusan MK Nomor 006/PUU-IV/2006, tertulis “Mahkamah berpendapat bahwa asas dan tujuan KKR, sebagaimana termaktub dalam Pasal 2 dan Pasal 3 undang-undang a quo, tidak mungkin dapat diwujudkan karena tidak adanya jaminan kepastian hukum (rechtsonzekerheid). Oleh karena itu, Mahkamah menilai undang-undang a quo secara keseluruhan bertentangan dengan UUD 1945 sehingga harus dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat”.

Tindakan Kontradiktif

Hal ini tentunya menjadi preseden buruk serta suatu kemunduran dalam upaya untuk menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM di masa lalu di Indonesia. Setelah UU KKR dicabut MK pada 2006 lalu, kini Pemerintah Pusat melalui Plh Sekretaris Direktorat Jenderal Otonomi Daerah Kemendagri RI malah menyarankan Pemerintah Aceh untuk mencabut Qanun Nomor 17 Tahun 2013 tentang KKR.

Pengamat politik dari Universitas Malikussaleh (Unimal) Lhokseumawe, Teuku Kemal Pasya mengatakan upaya tersebut merupakan suatu tindakan yang kontradiktif dengan semangat untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu dan pemenuhan hak-hak korban konflik di Aceh.

Teuku Kemal Pasya mengakui, memang saat ini terdapat beberapa kelemahan dalam Qanun Nomor 17 Tahun 2013 tentang KKR, namun tak berarti bahwa lembaga KKR itu harus dibubarkan. Artinya jika hal ini dilakukan, maka akan menjadi sebuah kemunduran untuk penyelesaian konflik dan pemenuhan hak-hak korban konflik di Aceh.

“Konsep yang sudah dibangun itu akhirnya dibongkar dan dibuang begitu saja, kontradiktifnya di situ. Jadi tak semua program yang dilakukan Presiden Prabowo untuk melanjutkan program Presiden Jokowi bisa dilakukan. Salah satunya terkait penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu,” ujar Teuku Kemal Pasya kepada Nukilan, Kamis (21/11/2024).

Dia menyebutkan saat ada niat baik dari Presiden Joko Widodo untuk menyelesaikan setidaknya secara non-yudisial dan mengakui 12 pelanggaran HAM berat di Indonesia –tiga di antaranya terjadi di Aceh, yaitu Tragedi Simpang Kertas Kraft Aceh (KKA), Lhokseumawe; Tragedi Rumoh Geudong, Pidie; dan Tragedi Jambo Keupok, Aceh Selatan–, pemerintahan Presiden Prabowo Subianto saat ini malah hendak melakukan hal yang sebaliknya.

“Sebagai upaya untuk membangun rekonsiliasi dan perdamaian yang berkelanjutan, ide itu seharusnya ditolak,” tegasnya. ***

Reporter: Sammy

spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img

Read more

Local News