NUKILAN.id | Opini – Revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) semakin memperkuat dugaan bahwa Presiden Prabowo Subianto tengah membangun sistem politik berbasis komando dalam pemerintahannya. Dalam struktur militer, loyalitas tanpa syarat dan kepatuhan mutlak menjadi prinsip utama. Namun, ketika prinsip ini diterapkan dalam birokrasi sipil, potensi penyimpangan terhadap nilai-nilai demokrasi menjadi tak terhindarkan.
Revisi UU TNI membuka jalan bagi peningkatan peran prajurit aktif dalam birokrasi sipil. Jika sebelumnya hanya 10 instansi yang bisa diisi oleh prajurit aktif, kini jumlahnya bertambah menjadi 15. Ini bukan sekadar upaya menyalurkan para perwira tanpa jabatan, melainkan langkah strategis dalam membangun sistem pemerintahan yang tunduk pada pola komando. Dalam birokrasi sipil, kebebasan berpikir dan fleksibilitas kebijakan adalah kunci keberhasilan. Namun, dengan dominasi perwira aktif, risiko penyeragaman kebijakan yang kaku dan minimnya ruang perdebatan semakin besar.
Prabowo bukan sekadar mencari posisi bagi para juniornya di TNI. Ia tengah merancang cita-cita besar: membangun pemerintahan terpimpin ala Cina. Dalam bukunya Paradoks Indonesia dan Solusinya (2022), Prabowo menyampaikan gagasan tentang kapitalisme negara dan politik komando sebagai resep Indonesia maju. Salah satu implementasinya adalah pembentukan Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (Danantara), yang menggabungkan perusahaan-perusahaan negara dalam satu wadah dengan kendali langsung dari pemerintah. Revisi UU TNI menjadi elemen tambahan dalam upaya mewujudkan birokrasi yang lebih terpusat dan tunduk pada kepemimpinan komando.
Tidak sulit melihat siapa saja yang berada di balik dorongan revisi ini. Menteri Pertahanan Yudo Margono, yang memiliki kedekatan dengan Prabowo, menjadi pendorong utama revisi ini. Wakil Ketua DPR, Sufmi Dasco Ahmad dari Partai Gerindra, turut mengawal pembahasannya di parlemen. Bahkan, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), yang sebelumnya berada di luar koalisi Prabowo, kini menjadi motor pembahasan. Hal ini tak lepas dari dinamika politik yang berkembang, terutama terkait tekanan hukum terhadap sejumlah kader PDIP, termasuk Sekretaris Jenderal Hasto Kristiyanto yang menjadi tersangka dalam kasus korupsi. Alih-alih mengambil sikap oposisi, PDIP memilih berdamai dengan pemerintah demi kepentingan politik yang lebih besar.
Yang menjadi pertanyaan besar, mengapa revisi UU TNI melaju mulus di DPR meskipun menyalahi prosedur legislasi? Rancangan undang-undang ini tidak masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2025 yang telah diputuskan DPR dalam rapat paripurna akhir tahun lalu. Selain itu, meskipun merupakan inisiatif pemerintah, DPR memperlakukannya seolah-olah mereka yang menggagasnya. Parlemen yang seharusnya menjadi benteng demokrasi justru berubah menjadi pelindung utama revisi yang mengancam prinsip-prinsip reformasi.
Revisi ini secara nyata menghidupkan kembali dwifungsi TNI yang telah dihapus dalam era reformasi. Dengan keterlibatan tentara dalam berbagai sektor dan perpanjangan masa dinas, Indonesia bergerak mundur ke era Orde Baru, ketika militer tidak hanya bertanggung jawab atas pertahanan, tetapi juga memainkan peran dominan dalam pemerintahan sipil.
Lebih jauh, revisi ini juga dapat dilihat sebagai upaya menjustifikasi kesalahan masa lalu. Di era Presiden Joko Widodo, setidaknya terdapat 2.500 tentara aktif yang bekerja di lembaga sipil, baik yang sesuai maupun di luar ruang lingkup UU TNI. Dengan revisi ini, Prabowo seolah-olah sedang melegitimasi praktik tersebut dan menyempurnakan sistem yang telah ada.
Namun, di balik semua itu, ada dimensi politik yang tak kalah menarik. Hubungan Prabowo dan Jokowi tidak bisa dipisahkan dari dinamika kekuasaan. Prabowo berutang budi kepada Jokowi yang telah menyelamatkannya dari keterpurukan politik setelah dua kali kalah dalam pemilihan presiden. Jokowi, di sisi lain, membutuhkan Prabowo untuk memastikan perlindungan politik pasca-kekuasaan. Dengan segala sumber daya negara yang kini dapat dikendalikan, Prabowo bukan sekadar presiden, tetapi juga pemimpin dengan kekuasaan yang tak terbatas.
Dalam situasi ini, suara kritik dari publik nyaris tak didengar. Prabowo tampak menutup telinga terhadap berbagai peringatan mengenai dampak negatif revisi UU TNI terhadap demokrasi. Padahal, jika revisi ini diteruskan, Indonesia berisiko kehilangan esensi reformasi yang telah diperjuangkan sejak 1998. Demokrasi yang diperoleh dengan perjuangan panjang bisa saja berubah menjadi sekadar ilusi di bawah kendali politik komando.
Revisi UU TNI bukan hanya tentang restrukturisasi peran militer dalam birokrasi, tetapi juga tentang arah masa depan demokrasi Indonesia. Jika revisi ini menjadi kenyataan, maka perjalanan Indonesia menuju pemerintahan yang lebih demokratis bisa saja berbalik arah, kembali ke pola lama yang pernah dikritik habis-habisan dalam sejarah reformasi. Pertanyaannya kini: akankah publik membiarkan hal ini terjadi? (XRQ)
Penulis: Akil