Monday, June 17, 2024

Revisi UU MK: Menggiring Indonesia Menuju Otoritarianisme?

NUKILAN.id | Opini – Revisi undang-undang Mahkamah Konstitusi (MK) yang dilakukan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) harus dilihat sebagai orkestrasi besar yang berpotensi menjadikan Indonesia negara otoriter. Dengan mempereteli kewenangan MK, pemerintah dan DPR bisa leluasa membajak demokrasi.

Dalam suasana yang senyap saat reses DPR, pemerintah diam-diam melanjutkan pembahasan rancangan perubahan keempat undang-undang MK tanpa dihadiri sebagian besar anggota Komisi III DPR yang membidangi hukum. Mereka sepakat membawa draf revisi undang-undang ini ke sidang paripurna. Sejak di tingkat pertama, pembahasan revisi ini berlangsung tertutup, tergesa-gesa, dan tanpa partisipasi publik yang berarti. Tak hanya menabrak prosedur, substansi revisi ini menyasar urusan masa jabatan dan batas usia hakim konstitusi.

Klausul paling berbahaya dalam revisi ini adalah celah bagi lembaga pengusul hakim seperti DPR, Presiden, dan Mahkamah Agung untuk mengevaluasi hakim konstitusi yang tidak sejalan dengan kepentingan mereka. Pasal 23A dalam perubahan keempat revisi undang-undang MK mengatur masa jabatan hakim konstitusi selama 10 tahun dari sebelumnya 15 tahun. Setiap 5 tahun, hakim konstitusi akan dikembalikan kepada lembaga pengusul untuk menjalani evaluasi. Pasal 87 aturan peralihan menyebutkan hakim konstitusi yang saat ini sudah menjabat 5 hingga kurang dari 10 tahun hanya bisa melanjutkan jabatannya setelah memperoleh persetujuan dari lembaga pengusul.

Saldi Isra, Eni Nurbaningsih, dan Suhartoyo adalah hakim konstitusi yang bakal terkena dampak bila pasal ini berlaku. Saldi dan Eni, keduanya diusulkan oleh Presiden, adalah dua dari tiga hakim konstitusi yang menyatakan pendapat hukum berbeda (dissenting opinion) saat MK menolak gugatan dugaan kecurangan Pemilu 2024. Tak seperti hakim lain, keduanya berpendapat telah terjadi kecurangan dalam pemilu yang merujuk pada capres-cawapres ‘besutan’ Presiden Jokowi. Dalih DPR bahwa revisi ini bertujuan memperkuat independensi dan akuntabilitas hakim konstitusi sulit dipercaya. Dengan dua pasal baru tersebut, pemerintah dan DPR bisa mengendalikan hakim konstitusi agar memutus perkara untuk keuntungan mereka.

Mahkamah Konstitusi dapat dipastikan meloloskan berbagai produk undang-undang yang dibuat DPR dan pemerintah tanpa hambatan berarti. Dalam konsep kekuasaan kehakiman, proses evaluasi di tengah masa jabatan bisa mengancam independensi dan imparsialitas Mahkamah Konstitusi. Peluang publik untuk mempersoalkan dan memenangi perkara lewat mekanisme uji materi pun semakin sempit. Padahal, banyak rancangan undang-undang bermasalah tengah dibahas dan berpotensi disetujui DPR, seperti RUU Penyiaran yang melarang penayangan jurnalisme investigasi.

Niat busuk untuk menggebosi Mahkamah Konstitusi bermula dari putusan MK atas uji formil Undang-Undang Cipta Kerja pada 2021. Mahkamah Konstitusi menyatakan undang-undang tersebut cacat formal dan inkonstitusional bersyarat. Siasat melumpuhkan MK secara sistematis lewat revisi undang-undang menguat setelah DPR mencopot Aswanto, yang acap menganulir undang-undang yang disahkan DPR. Ia digantikan oleh Guntur Hamzah. Langkah pemerintah dan DPR merevisi undang-undang MK makin menguatkan gejala legalisme otokratik yang merusak bangunan negara hukum. Dengan segala cara, mereka mengkonsolidasikan kekuasaan yang seolah-olah sah secara hukum, padahal mencederai demokrasi dan konstitusi.

Tak hanya melumpuhkan Mahkamah Konstitusi, revisi undang-undang ini juga berdampak pada hancurnya pemisahan kekuasaan antara eksekutif dan legislatif. Hilangnya fungsi kontrol dan koreksi terhadap kekuasaan membuat kebijakan eksekutif melenggang di DPR, yang selama ini pun bertindak sebagai tukang stempel belaka.

Koalisi besar partai politik pendukung pemerintah menumpulkan fungsi kontrol badan legislatif. Di sinilah pentingnya peran Mahkamah Konstitusi menjaga keseimbangan kekuasaan antara eksekutif, legislatif, dan yudikatif serta mencegah satu cabang mendominasi cabang lainnya. Pembatasan kekuasaan ini krusial untuk menjamin akuntabilitas dalam demokrasi. Para elite kini merobohkan semua prinsip itu. Matinya Mahkamah Konstitusi merupakan tanda-tanda sebuah negara jatuh menuju kediktatoran.

Penulis: Akil Rahmatillah (Alumni Ilmu Pemerintahan-USK)

spot_img
- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img

Must Read

- Advertisement -spot_img

Related News

- Advertisement -spot_img