NUKILAN.id | Jakarta – Mahkamah Konstitusi (MK) baru-baru ini menghadapi tantangan setelah dua putusannya terkait Pilkada dianulir oleh Badan Legislasi (Baleg) DPR melalui revisi Undang-Undang Pilkada. Putusan nomor 60 dan 70, yang sebelumnya dianggap sebagai langkah progresif dalam memperkuat demokrasi di Indonesia, kini mendapat tantangan serius dari parlemen.
Putusan nomor 60/PUU-XXII/2024 membuka peluang bagi partai politik untuk mengusung calon kepala daerah meskipun tidak memiliki kursi di DPRD. Sementara itu, putusan nomor 70/PUU-XXII/2024 menegaskan bahwa usia pencalonan kepala daerah dihitung sejak ditetapkan sebagai calon, bukan saat dilantik. Kedua putusan ini dianggap memberikan angin segar bagi dinamika politik lokal.
Namun, keputusan ini tak bertahan lama. Pada Rabu (21/8/2024), Baleg DPR bersama pemerintah secara cepat mengadakan rapat untuk membahas revisi UU Pilkada. Dalam rapat tersebut, disepakati bahwa aturan bagi partai non-parlemen yang ingin mengusung calon kepala daerah tetap berlaku, namun dengan beberapa penyesuaian. Sementara itu, batas usia calon kepala daerah kembali mengacu pada keputusan Mahkamah Agung, yang menghitung usia sejak saat pelantikan.
Menanggapi keputusan yang dianggap mengurangi kewenangan MK, Juru Bicara MK Enny Nurbaningsih memilih untuk tidak berkomentar.
“MK tidak boleh mengomentari revisi Undang-Undang yang sedang dibahas di DPR,” ujarnya singkat kepada media di Jakarta, Rabu (21/8/2024).
Sementara itu, revisi UU Pilkada ini dipastikan akan dibawa ke rapat paripurna terdekat untuk disahkan menjadi undang-undang. Wakil Baleg DPR RI, Achmad Baidowi, mengkonfirmasi hal ini dalam rapat kerja bersama pemerintah.
“Apakah hasil pembahasan RUU tentang perubahan keempat atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota dapat diproses sesuai peraturan perundang-undangan?” tanya Achmad Baidowi dalam rapat.
Dengan persetujuan seluruh peserta rapat, revisi UU Pilkada tersebut resmi diusulkan untuk dibawa ke paripurna. “Alhamdulillah,” ujar Baidowi seraya mengetok palu tanda persetujuan.
Perkembangan ini menimbulkan banyak pertanyaan terkait masa depan demokrasi lokal di Indonesia, khususnya mengenai peran Mahkamah Konstitusi dalam menjaga proses pemilihan yang adil dan terbuka.
Editor: Akil