Respon Masyarakat Terkait Polemik Himne Aceh

Share

NUKILAN.id | Banda Aceh – Polemik terkait pemutaran Himne Aceh Mulia dalam beberapa acara resmi di Aceh Tengah mencuat ke permukaan, memicu reaksi dari masyarakat Gayo yang merasa himne mereka, Himne Tawar Sedenge, tidak mendapatkan pengakuan yang setara.

Kontroversi ini bermula saat Himne Tawar Sedenge tidak dikumandangkan pada acara pembukaan Musyawarah Cabang (Muscab) Gerakan Pramuka Aceh Tengah, Sabtu, (11/4/2024) lalu.

Menurut Konsultan Muscab Gerakan Pramuka Aceh Tengah, Awaluddin Azril, Himne Aceh Mulia adalah himne resmi Provinsi Aceh yang harus dinyanyikan dalam setiap acara resmi, sesuai Qanun Aceh Nomor 2 Tahun 2018 tentang Himne Aceh. Qanun ini mengharuskan pemutaran atau penyanjiannya dalam acara resmi, dan semua penduduk Aceh diwajibkan menguasai dan memahami Himne Aceh.

Azril mengatakan pihaknya menghormati masyarakat Gayo dan mengapresiasi Himne Tawar Sedenge yang dikukuhkan sebagai lagu wajib daerah berdasarkan Surat Keputusan Bupati Aceh Tengah. Namun, Azril mengaku Kwarda Aceh tidak mengetahui atau diberitahu tentang Surat Keputusan Bupati Aceh Tengah tersebut.

Polemik ini mendapat tanggapan beragam dari masyarakat. Yusrizal, seorang warga Takengon yang telah menetap di Banda Aceh. Yusrizal menilai bahwa perdebatan ini tidak membawa manfaat. Ia menyarankan lebih baik fokus pada hal-hal yang lebih penting seperti pembangunan dan pendidikan.

“Menurut saya, polemik ini tidak ada gunanya. Lebih baik fokus pada hal-hal yang lebih penting seperti pembangunan dan pendidikan. Himne apa pun yang dinyanyikan, seharusnya tidak menjadi masalah besar,” kata Yusrizal kepada Nukilan.id, Jumat (17/5/2024).

Berbeda dengan Yusrizal, Bela, seorang mahasiswi, merasa bahwa penggunaan bahasa Aceh dalam himne tersebut tidak adil bagi masyarakat non-Aceh. Ia berpendapat, lebih baik kita menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa dalam himne, sehingga bisa menghindari konflik dan merangkul semua etnis yang ada di Aceh.

“Aceh itu multietnis, kenapa tidak gunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan? Jadi semua bisa mengerti dan merasa dihargai,” ujar Bela.

Polemik ini mencerminkan tantangan dalam menjaga keseimbangan antara menghormati identitas budaya lokal dan mematuhi peraturan provinsi. Harapannya, dialog yang konstruktif dan inklusif dapat menjembatani perbedaan, sehingga semangat kebersamaan dan persatuan tetap terjaga di Aceh yang multietnis.

Reporter: Akil Rahmatillah

spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img

Read more

Local News