Resesi di Depan Mata, Prabowo Tak Boleh Tutup Mata

Share

NUKILAN.id | Opini – Presiden Prabowo Subianto tidak punya banyak waktu untuk berpikir dua kali. Ancaman resesi ekonomi kini berdiri di depan pintu, mengetuk keras dengan sederet indikator yang menunjukkan gejala krisis serius. Namun, hingga kini, tidak terlihat upaya signifikan yang menunjukkan bahwa pemerintah sadar akan kedaruratan ini. Lebih ironis lagi, sikap jemawa Presiden di tengah kemunduran ekonomi justru mempertegas bahwa krisis ini bisa terjadi bukan semata karena tekanan global, melainkan kelengahan domestik.

Perekonomian Indonesia mulai tertekan sejak kuartal akhir 2024. Nilai tukar rupiah merosot hingga Rp16.312 per dolar AS pada 31 Januari 2025, dan terus melemah menembus angka Rp17.000 hanya tiga bulan kemudian. Di pasar modal, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) terjerembab hingga memicu penghentian perdagangan sementara (trading halt) pada 18 Maret dan 8 April 2025. Sepanjang tiga bulan terakhir, IHSG anjlok 16,82 persen—sebuah sinyal bahaya yang tak bisa dianggap enteng.

Di tingkat rumah tangga, masyarakat mulai mengencangkan ikat pinggang. Survei konsumen Bank Indonesia menunjukkan porsi tabungan terhadap pendapatan anjlok ke angka 14,7 persen pada Februari 2025, turun tajam dari rata-rata 16,7 persen sepanjang 2018–2024. Belanja masyarakat pun ikut melemah. Berdasarkan Mandiri Spending Index, pertumbuhan konsumsi hanya mencapai 1,4 persen pada Maret 2025—turun drastis dibandingkan Maret tahun sebelumnya yang mencapai 4,7 persen.

Masalah semakin pelik ketika sektor ketenagakerjaan mulai menunjukkan gejala gawat. Kementerian Ketenagakerjaan mencatat 18.610 orang kehilangan pekerjaan hanya dalam dua bulan pertama 2025—dua kali lipat dari jumlah pengangguran pada periode yang sama tahun sebelumnya. Bahkan, menurut data Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia, sebanyak 60.000 buruh dari 50 perusahaan terpaksa dirumahkan akibat pemutusan hubungan kerja.

Di tengah kerapuhan ekonomi domestik, Indonesia juga harus menghadapi pukulan dari luar negeri. Presiden Amerika Serikat Donald Trump, dalam kebijakan dagangnya yang agresif, menetapkan tarif pokok 10 persen untuk semua negara mitra, termasuk Indonesia. Tak berhenti di sana, Indonesia yang mencatat surplus perdagangan sebesar 16,8 miliar dolar AS sepanjang 2024 juga dikenai tarif resiprokal tambahan sebesar 32 persen. Kebijakan ini langsung menghantam daya saing ekspor Indonesia.

Sayangnya, respons pemerintah sangat lambat. Pos Duta Besar RI di Washington DC kosong sejak Juli 2023 karena tarik-menarik politik yang tak berkesudahan. Tim negosiasi baru dibentuk setelah kebijakan tarif diumumkan, menunjukkan lemahnya diplomasi ekonomi yang seharusnya menjadi garda terdepan perlindungan kepentingan nasional.

Kondisi ini diperparah oleh tata kelola ekonomi yang jauh dari kata sehat. Janji deregulasi dan penghapusan kuota impor yang selama ini menjadi ladang rente tak kunjung terealisasi. Presiden Prabowo harus membuktikan bahwa komitmen reformasi itu bukan sekadar omon-omon politik. Apalagi, sudah menjadi rahasia umum bahwa banyak pemegang kuota impor adalah pihak-pihak yang dekat dengan lingkar kekuasaan atau penyokong logistik kampanye pemilu 2024.

Kebijakan ekonomi komando ala Prabowo yang diwujudkan melalui pembentukan badan-badan baru seperti Daya Anagata Nusantara (Danantara) dan proyek ambisius makan bergizi gratis, justru menimbulkan distorsi serius. Banyak pengamat menilai pendekatan ini tidak hanya tidak efisien, tetapi juga membuka ruang premanisme negara dalam urusan korporasi. Situasi ini membuat dunia usaha gamang dan penuh ketidakpastian.

Presiden Prabowo perlu menurunkan egonya. Program-program kerja yang terlalu ambisius harus ditunda, sementara langkah-langkah penguatan struktur ekonomi domestik harus menjadi prioritas utama. Ketergantungan terhadap pihak luar harus segera dikurangi melalui penguatan sektor produksi dalam negeri.

Lebih jauh, kabinet harus dirampingkan. Sudah menjadi perbincangan publik bahwa sejumlah menteri duduk di pemerintahan bukan karena kompetensi, melainkan karena jasa politik di masa pemilu. Jika hal ini dibiarkan, pemerintah hanya akan disibukkan dengan praktik rente dan membiarkan birokrasi menjadi gemuk dan lamban.

Tanpa pembenahan mendasar dalam waktu dekat, Indonesia tidak hanya akan mengalami pelemahan ekonomi, tetapi benar-benar terperosok ke dalam jurang krisis. Saat ini, kita seolah sedang menghitung mundur menuju titik nadir ekonomi nasional. Yang dibutuhkan bukan pidato penuh semangat atau simbolisme kekuasaan. Yang dibutuhkan adalah keberanian untuk berubah—sebelum terlambat. (XRQ)

Penulis: Akil

spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img

Read more

Local News