NUKILAN.ID | BANDA ACEH – Rektor Universitas Syiah Kuala (USK), Prof Dr Ir Marwan, menegaskan bahwa peningkatan kualitas dan relevansi pendidikan merupakan kunci penting dalam menjaga perdamaian Aceh.
Hal itu ia sampaikan saat menjadi pembicara dalam International Discussion and Commemoration “20 Years of Helsinki MoU: Successes and Challenges” yang berlangsung di Hermes Palace Hotel, Banda Aceh, Kamis (14/8/2025).
Menurut Marwan, dua dekade setelah penandatanganan MoU Helsinki, Aceh telah berhasil mempertahankan suasana damai, sebuah capaian yang jarang terjadi di wilayah bekas konflik dunia. Namun, tujuan akhir dari perjanjian tersebut, yakni kesejahteraan masyarakat yang merata dan berkeadilan, masih belum sepenuhnya terwujud.
“Namun demikian, tantangan terbesar kini terletak pada peningkatan kualitas dan relevansi pendidikan, terutama dalam menjawab kebutuhan masyarakat Aceh yang tengah bertransformasi,” ujarnya.
Marwan menilai, pendidikan di Aceh memang telah mengalami kemajuan dari sisi akses. Namun, ia menekankan bahwa pendidikan harus mampu menghadirkan narasi inklusif yang menghargai kearifan lokal sekaligus memperkuat persatuan nasional.
“Karena pendidikan tidak hanya berdampak pada indikator ekonomi, tetapi juga menjadi katalisator bagi transformasi sosial yang lebih luas,” tutur Marwan.
Ia menambahkan, pascakonflik Aceh mengalami perubahan dalam struktur sosial, relasi antar kelompok, hingga cara masyarakat memaknai identitas dan masa depan mereka. Karena itu, pendidikan diyakini memiliki peran strategis dalam membentuk generasi muda yang kritis, terbuka, dan partisipatif.
Momentum Dua Dekade Perdamaian
Acara tersebut dibuka oleh Gubernur Aceh, Muzakir Manaf (Mualem). Dalam sambutannya, ia menyebut dua dekade perdamaian sebagai bukti keberhasilan Aceh menyelesaikan konflik secara bermartabat.
“Hari ini kita berkumpul dalam suasana persaudaraan pada momen peringatan dua dekade perdamaian Aceh. Ini adalah proses yang harus terus dijaga. Mari kita teguhkan tekad untuk menjaga warisan damai ini, bukan hanya untuk dua dekade, tetapi selamanya,” ujar Mualem.
Ketua Badan Reintegrasi Aceh sekaligus Ketua Panitia Pelaksana, Jamaluddin, SH, MKn, menambahkan, forum tersebut bertujuan merumuskan rekomendasi kebijakan yang akan disampaikan kepada pemerintah pusat.
“Hasil dari diskusi publik hari ini akan diserahkan kepada Pemerintah Pusat sebagai referensi dalam penyusunan kebijakan terkait perdamaian Aceh yang menyeluruh dan berkelanjutan,” katanya.
Dukungan Internasional
Sementara itu, perwakilan Crisis Management Initiative (CMI), Minna Kukkonen Kalender, menilai perdamaian Aceh lahir dari tekad kuat seluruh lapisan masyarakat.
“Kami sebagai teman masyarakat Aceh, siap mendukung dan hadir untuk perdamaian Aceh yang berkelanjutan,” tukas Minna.
Ia menekankan, perdamaian bukan semata hasil kerja elit politik, tetapi juga kontribusi perempuan dan generasi muda.
“Saya yakin anak muda di Aceh tidak hanya memiliki kenangan tentang masa lalu, tapi juga semangat untuk membangun masa depan Aceh yang lebih baik,” ucapnya.
Forum internasional ini turut dihadiri oleh sejumlah tokoh nasional dan internasional, termasuk Wali Nanggroe Aceh, para duta besar, kepala daerah, akademisi, serta perwakilan CMI.