Qanun LKS dan Masa Depan Keuangan Syariah Aceh

Share

NUKILAN.id | OPINI Keputusan Aceh menerapkan Qanun Lembaga Keuangan Syariah (LKS) Nomor 11 Tahun 2018 adalah langkah monumental dalam sejarah ekonomi daerah. Keputusan tersebut juga merupakan bentuk keberanian yang diambil oleh Aceh untuk menata ulang sistem keuangan agar lebih selaras dengan nilai-nilai syariat Islam yang telah lama menjadi fondasi kehidupan masyarakat Aceh.

Transformasi sistemik tersebut tentu tidak mudah. Mengubah seluruh ekosistem keuangan dari konvensional ke syariah bukanlah sekadar mengganti nama atau logo bank. Namun, menyangkut perubahan mendasar dalam struktur produk, sistem teknologi, kompetensi SDM, hingga persepsi publik.

Tantangan dan Ketidaksempurnaan Implementasi

Gangguan layanan yang terjadi di salah satu bank syariah nasional yang beroperasi di Aceh sempat menjadi sorotan publik dan memicu diskusi mengenai efektivitas implementasi Qanun LKS. Gangguan-gangguan teknis yang terjadi, terutama pada sistem digital, sering kali menimbulkan ketidaknyamanan bagi nasabah. Namun, penting untuk dipahami bahwa permasalahan tersebut lebih bersumber pada aspek operasional dan teknologi, bukan pada kelemahan prinsip dasar sistem syariah itu sendiri.

Meski demikian, BSI dan Bank Aceh Syariah (BAS) sebagai dua pilar utama perbankan syariah di Aceh perlu terus berbenah diri. Kinerja layanan, keandalan sistem digital, dan kualitas pelayanan nasabah harus ditingkatkan secara signifikan. Business Continuity Plan (BCP) yang kuat, peningkatan kapasitas SDM, serta perluasan jaringan layanan hingga ke pelosok menjadi keharusan agar kepercayaan publik tidak luntur. 

Tantangan implementasi Qanun LKS juga tidak hanya bersifat teknis dan struktural, tetapi juga menyangkut persepsi publik. Di ruang-ruang digital, beredar berbagai narasi yang mempertanyakan efektivitas sistem perbankan syariah. Salah satu bentuknya adalah video yang mempropagandakan agar bank konvensional kembali beroperasi di Aceh. Dalam konten tersebut, disampaikan klaim bahwa tidak ada perbedaan antara bank syariah dan bank konvensional, bahkan disebutkan bahwa bank syariah justru menerapkan “bunga” yang lebih mencekik. Narasi semacam ini berpotensi menyesatkan publik, terutama jika tidak disertai dengan pemahaman yang utuh mengenai prinsip dan mekanisme akad dalam perbankan syariah.

Perbedaan Mendasar: Akad sebagai Fondasi Sistem Syariah

Salah satu perbedaan paling mendasar antara bank konvensional dan bank syariah terletak pada akad atau kontrak yang menjadi dasar dari setiap transaksi keuangan. Dalam sistem perbankan konvensional, hubungan antara bank dan nasabah umumnya bersifat kreditur dan debitur, di mana bank memberikan pinjaman kepada nasabah dan memperoleh keuntungan dari bunga yang dibebankan atas pinjaman tersebut. Bunga ini bersifat tetap atau mengambang, tergantung pada kesepakatan awal, dan menjadi sumber utama pendapatan bank.

Sementara itu, dalam sistem syariah, bunga atau riba dilarang karena dianggap bertentangan dengan prinsip keadilan dalam Islam. Sebagai gantinya, bank syariah menggunakan akad-akad yang sesuai dengan prinsip syariah, yang menekankan kejelasan, keadilan, dan kesepakatan bersama. Akad-akad ini menjadi dasar hukum dan operasional dalam setiap produk dan layanan yang ditawarkan.

Salah satu akad yang paling umum digunakan adalah murabahah, yaitu akad jual beli di mana bank membeli barang yang dibutuhkan nasabah, kemudian menjualnya kembali kepada nasabah dengan harga yang telah ditambah margin keuntungan. Harga jual dan margin ditentukan di awal dan tidak berubah selama masa angsuran. Dalam akad ini, keuntungan bank berasal dari margin, bukan dari bunga atas pinjaman uang.

Akad lainnya adalah mudharabah, yaitu kerja sama antara pemilik modal (bank) dan pengelola usaha (nasabah). Bank menyediakan modal, sementara nasabah menjalankan usaha. Keuntungan dibagi sesuai kesepakatan, sedangkan kerugian ditanggung oleh pemilik modal selama tidak ada kelalaian dari pengelola. Akad ini menekankan prinsip kepercayaan dan tanggung jawab.

Kemudian ada musyarakah, yaitu kerja sama antara dua pihak atau lebih yang masing-masing menyumbangkan modal untuk menjalankan usaha bersama. Keuntungan dibagi sesuai kesepakatan, dan kerugian dibagi berdasarkan proporsi modal yang disetor. Akad ini mencerminkan prinsip keadilan dan partisipasi aktif dalam risiko dan hasil usaha.

Selain itu, terdapat juga akad ijarah, yaitu akad sewa menyewa. Dalam konteks perbankan, bank dapat menyewakan aset kepada nasabah, seperti kendaraan atau properti, dengan imbalan sewa yang disepakati. Dalam beberapa kasus, akad ijarah dapat dikombinasikan dengan akad jual beli (ijarah muntahiyah bit tamlik), di mana setelah masa sewa berakhir, aset dapat dimiliki oleh nasabah.

Dengan menggunakan akad-akad tersebut, sistem perbankan syariah membentuk hubungan yang berdasarkan prinsip kemitraan, tanggung jawab bersama, dan kejelasan hak serta kewajiban antara bank dan nasabah. Setiap transaksi didasarkan pada kesepakatan yang jelas, tanpa unsur ketidakpastian (gharar), spekulasi (maysir), atau riba. Prinsip-prinsip ini menjadi pembeda utama antara sistem syariah dan konvensional, dan menjadi dasar mengapa Aceh memilih untuk menata sistem keuangannya melalui pendekatan syariah.

Menjaga Semangat, Meningkatkan Kualitas

Komitmen terhadap implementasi Qanun LKS perlu terus dijaga agar pelaksanaannya berjalan konsisten dan efektif. Kinerja industri keuangan syariah perlu terus dipekuat. Tidak cukup hanya mengandalkan prinsip dan semangat syariah, tetapi juga diperlukan peningkatan pada aspek infrastruktur, kualitas layanan, serta inovasi digital yang berkelanjutan.

Di sisi lain, masyarakat juga perlu terus didorong untuk memahami esensi ekonomi syariah, bukan hanya dari sisi simbolik, tetapi dari substansi akad dan nilai-nilai keadilan yang diusungnya. Literasi keuangan syariah harus menjadi agenda bersama, agar publik tidak mudah terpengaruh oleh narasi yang menyesatkan.

Qanun LKS bukanlah akhir dari perjalanan, melainkan awal dari sebuah transformasi besar dalam sistem keuangan Aceh. Seperti halnya setiap perubahan yang bersifat fundamental, proses ini menuntut kesabaran, evaluasi yang jujur, dan komitmen bersama dari seluruh pemangku kepentingan.

Perubahan besar selalu menimbulkan riak. Namun, riak bukanlah tanda kegagalan, melainkan bagian dari proses menuju kematangan. Aceh sedang membangun sistem keuangan yang baru, yang lebih sesuai dengan nilai-nilai lokal dan agama. Ini bukan pekerjaan satu atau dua tahun, tetapi proyek jangka panjang yang membutuhkan kesabaran, konsistensi, dan evaluasi berkelanjutan.

Qanun LKS adalah warisan penting bagi generasi mendatang. Mari kita jaga semangatnya, perbaiki kekurangannya, dan pastikan bahwa sistem keuangan syariah di Aceh benar-benar menjadi solusi, bukan sekadar simbol. 

Oleh: Izazi (Mahasiswa Magister Manajemen, Universitas Syiah Kuala)

spot_img
spot_img

Read more

Local News