Qanun Jinayat Dinilai Belum Hadirkan Keadilan bagi Korban Kekerasan Seksual Anak

Share

NUKILAN.ID | BANDA ACEH – Publik Aceh dikejutkan dengan penangkapan seorang pria berinisial AB (55), warga Kecamatan Ulee Kareng, Kota Banda Aceh, yang diduga m3m3rk054 anak kandungnya sendiri yang masih berusia 17 tahun. Kasus ini sontak mengguncang kesadaran sosial masyarakat karena peristiwa serupa selama ini lebih sering terdengar terjadi di luar Aceh.

Kepala Satuan Reserse Kriminal (Kasat Reskrim) Polresta Banda Aceh, Kompol Fadillah Aditya Pratama, menyatakan bahwa pelaku telah dijerat dengan Pasal 47 Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat. Sementara itu, korban kini tengah berada dalam pendampingan sejumlah pihak guna memulihkan kondisi psikologisnya pascakejadian.

Menanggapi kasus ini, Nukilan.id mencoba menggali lebih jauh efektivitas Qanun Jinayat dalam memberikan keadilan bagi korban kekerasan seksual, khususnya anak-anak. Pendapat kritis disampaikan oleh Gebrina Rezeki, Kepala Sekolah HAM Perempuan, yang menilai bahwa meskipun Qanun tersebut telah mengatur sanksi terhadap pelaku, namun implementasinya belum sepenuhnya berpihak kepada korban.

“Proses hukumnya seringkali tidak sensitif terhadap trauma korban, belum menjamin kerahasiaan, dan kadang menimbulkan reviktimisasi,” ujar Gebrina.

Ia menambahkan bahwa fokus Qanun Jinayat yang lebih mengedepankan hukuman fisik seperti cambuk dan penjara, belum dibarengi dengan mekanisme pemulihan korban yang memadai.

“Selain itu, fokus pada hukuman cambuk dan penjara belum diiringi dengan sistem pendampingan korban yang komprehensif. Jadi, meskipun Qanun ini memberi efek jera, keadilan sejati belum sepenuhnya dirasakan oleh korban,” lanjutnya.

Gebrina menekankan pentingnya sistem pendampingan terpadu bagi korban, bukan hanya pada tahap awal, tetapi secara berkelanjutan. Menurutnya, pemulihan trauma anak korban kekerasan seksual memerlukan pendekatan yang lebih manusiawi dan holistik.

“Korban membutuhkan pendampingan psikologis jangka panjang, termasuk terapi trauma yang ramah anak,” jelasnya.

Tak hanya itu, ia juga menyoroti pentingnya pendampingan hukum agar proses peradilan berjalan adil dan tidak menambah beban psikologis korban.

“Kedua, tentunya pendampingan hukum. Agar hak-hak korban terlindungi selama proses peradilan,” kata Gebrina.

Lebih lanjut, ia menggarisbawahi pentingnya penyediaan tempat perlindungan sementara yang aman, terlebih bila korban tidak bisa kembali ke lingkungan keluarganya.

“Ketiga, tempat perlindungan yang aman bila korban tidak bisa kembali ke lingkungan keluarga,” tuturnya.

Di akhir penjelasannya, Gebrina menekankan pentingnya upaya reintegrasi sosial dan akses terhadap pendidikan bagi korban, sebagai langkah pemulihan jangka panjang.

“Terakhir, reintegrasi sosial dan pendidikan juga sangat penting, agar korban dapat melanjutkan kehidupan secara utuh tanpa stigma,” pungkasnya.

Kasus ini kembali membuka tabir lemahnya sistem perlindungan terhadap anak di Aceh, serta menjadi pengingat bahwa pemulihan korban semestinya menjadi bagian tak terpisahkan dari proses penegakan hukum. (XRQ)

Reporter: Akil

spot_img

Read more

Local News