NUKILAN.id | Opini – Pembangunan dengan model Proyek Strategis Nasional (PSN) yang seharusnya menjadi motor penggerak kemajuan bangsa kini menjadi sumber konflik dan pelanggaran hak asasi manusia. Di Pantai Utara Tangerang, Banten, segregasi sosial tampak jelas mengintai. Mereka yang berpunya kelak tinggal di kawasan mewah seperti Pantai Indah Kapuk (PIK) Tropical Coastland, sementara masyarakat kecil yang terpaksa menyerahkan lahannya kepada pengembang berisiko tersisih ke kampung-kampung di sekitar kawasan tersebut.
Pembangunan yang seharusnya memperluas kemerdekaan manusia, sebagaimana dikemukakan ekonom peraih Nobel Amartya Sen, justru memiskinkan dan meminggirkan kelompok lemah. PIK Tropical Coastland, yang berdampingan dengan PIK 2, dilindungi negara melalui penetapannya sebagai PSN. Namun, proyek ini jelas-jelas bertentangan dengan Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW), mengingat sebagian besar areanya berada dalam kawasan hutan lindung.
Penetapan PIK Tropical Coastland sebagai PSN diduga kuat merupakan kompensasi atas permintaan pemerintah kepada Agung Sedayu Group, pengembang proyek ini. Agung Sedayu ditengarai telah membiayai sebagian pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN), proyek ambisius yang membutuhkan investasi besar. Penetapan PSN ini menunjukkan bagaimana kebijakan publik dapat dipermainkan demi kepentingan segelintir pengusaha.
Proyek ini juga menjadi bagian dari rencana besar pemerintah untuk menyediakan tiga juta rumah. Dalam program tanggung jawab sosial perusahaan (CSR), manajemen PIK Tropical Coastland berjanji mengucurkan Rp100 miliar untuk pembangunan ratusan rumah sederhana. Namun, seperti pepatah “tidak ada makan siang gratis,” sebagai imbalan, pengembang dilibatkan dalam proyek pembangunan tanggul laut raksasa senilai Rp700 triliun. Proyek ini diklaim untuk melindungi Jakarta dari abrasi laut, tetapi tanpa tata kelola yang baik, PSN hanya menjadi cara licik untuk menguntungkan pengusaha.
Sejak dimulai pada pemerintahan Joko Widodo periode pertama hingga Juli 2024, sebanyak 233 PSN dengan total investasi Rp6.200 triliun telah dicanangkan. Dari jumlah itu, 152 PSN telah rampung dan beroperasi. Namun, proyek-proyek ini kerap mengabaikan prinsip tata kelola pemerintahan yang baik. Pemerintah diberikan wewenang untuk mencabut atau mengganti peraturan yang menghambat pelaksanaan PSN, termasuk dalam hal perizinan, pengadaan lahan, hingga pembiayaan.
Lebih parah lagi, standar operasi pengendalian dampak sosial dan lingkungan pada banyak PSN tidak jelas. Dalam banyak kasus, aparat keamanan mudah dikerahkan untuk “mengamankan” proyek, bahkan dengan melanggar hak-hak masyarakat. Aduan yang disampaikan masyarakat terkait pelanggaran PSN kepada kejaksaan atau kepolisian sering kali hanya berakhir di meja pejabat tanpa tindakan lebih lanjut.
Dampak buruk PSN terhadap masyarakat sangat nyata. Sepanjang 2020-2023, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia menerima 114 aduan terkait PSN, mulai dari kekerasan, intimidasi, hingga konflik agraria. Contoh nyata adalah kasus di proyek Riau Eco-City di Kepulauan Riau, proyek geotermal Pocoleok di Nusa Tenggara Timur, dan Kawasan Industri Hijau Indonesia di Kalimantan Utara. Proyek-proyek ini menyingkirkan masyarakat lokal dan memperburuk konflik sosial.
Amburadulnya perencanaan PSN juga terlihat pada proyek seperti Bandara Internasional Jawa Barat Kertajati. Selain menyisakan masalah agraria, bandara ini tidak memberikan manfaat yang sebanding dengan investasi besar yang digelontorkan. Pada kenyataannya, bandara ini hanya ramai pada musim haji, meninggalkan infrastruktur megah yang nyaris tak terpakai sepanjang tahun.
Presiden Prabowo Subianto harus segera mengevaluasi PSN, khususnya proyek-proyek warisan pembangunanisme era Jokowi yang cenderung melanggar hak asasi manusia, menimbulkan diskriminasi, dan menyalahgunakan wewenang. Pembangunan yang baik seharusnya tidak menjadi perampasan kesempatan hidup layak bagi masyarakat kecil, tetapi justru memberdayakan mereka.
Pembangunan yang melukai kemanusiaan bukanlah pembangunan sejati. Jika terus dibiarkan, PSN hanya akan menjadi simbol kesenjangan sosial yang semakin melebar, meninggalkan luka mendalam bagi masyarakat yang paling rentan. Sudah waktunya pemerintah menempatkan kepentingan rakyat sebagai prioritas utama, bukan sekadar melayani kepentingan korporasi besar. (XRQ)
Penulis: Akil Rahmatillah (Alumni Ilmu Pemerintah-USK)