NUKILAN.ID | JAKARTA – Pakar Ekonomi Indef sekaligus Ketua Dewan Pakar Asosiasi Pengusaha Bumiputera Nusantara Indonesia (ASPRINDO), Prof Didin S Damanhuri, menyoroti mahalnya biaya politik di Indonesia yang dinilai berimbas langsung pada terhambatnya pembangunan ekonomi nasional.
Dalam forum diskusi Indef dan Insan Cita, Prof Didin menegaskan bahwa sejak era reformasi, sistem politik di Tanah Air cenderung transaksional dan sarat praktik politik uang.
“Saya tidak tahu apakah ini sengaja atau tidak, tapi ini yang terjadi di daerah hingga ke pusat. Dan tak hanya sistem politik transaksional, tapi juga politik uang. Menurut penelitian, vote-buyer di Indonesia ini paling tinggi di dunia,” ujarnya, dikutip Kamis (20/8/2025).
Menurutnya, kondisi tersebut membuat biaya politik atau political cost di Indonesia sangat tinggi. Akibatnya, demokrasi yang berjalan masih sebatas prosedural, belum menyentuh substansi yang mengedepankan supremasi hukum, kesejahteraan, dan keadilan sosial sebagaimana diamanatkan UUD 1945.
“Karena itu, pertumbuhan ekonomi rata-rata 5 persen di era reformasi, yang lebih rendah jika dibandingkan sebelum reformasi yang bisa menyentuh 7,5 persen, hanya terakumulasi pada 5 persen kelompok yang super kaya. Hal ini terjadi karena, telah terjadi Oligarki Bisnis yang kawin mawin dengan Oligarki Politik. Ini menyebabkan platform ekonomi rakyat yang diusung oleh pemerintahan Presiden Prabowo menjadi maha sulit untuk diimplementasikan,” jelasnya.
Prof Didin menilai situasi tersebut mempersulit pembiayaan berbagai program pemerintah seperti makan bergizi gratis (MBG), koperasi desa, hingga swasembada pangan dan energi. Bahkan, menurutnya, anggaran untuk sektor pendidikan berpotensi tergerus hingga 44 persen, sementara transfer ke daerah terhambat.
Selain itu, rencana pembelian pesawat generasi kelima dari Turki dan Korea Selatan juga dinilai membebani keuangan negara. “Ujung-ujungnya untuk pembelian itu, Menteri Keuangan Sri Mulyani harus menambah hutang, yang pernah disampaikan oleh beberapa media, utang luar negeri Pemerintah pada tahun 2024 telah mencapai Rp10.350 triliun. Akibatnya kondisi fiskal negara, moneter maupun fiskal perbankan menjadi terbatas,” katanya.
“Belum lagi ditambah dengan banyaknya kelompok vested interest yang menyabotnya, disamping ada soal inkompetensi,” tambah Guru Besar IPB itu.
Sebagai solusi, Prof Didin mengusulkan adanya reorientasi pembangunan ekonomi. Menurutnya, Indonesia perlu mengadopsi model pembangunan berorientasi pada pertumbuhan produk domestik bruto (GDP) yang sehat dan berkelanjutan.
“Sehingga, akan menghasilkan pelaku bisnis yang efisien dan inovatif, pelaku politik yang negarawan dan civil society yang produktif. Itulah yang sudah terjadi di negara-negara yang demokrasinya matang, seperti negara-negara Scandinavia atau Jepang. Itu bisa kita jadikan benchmark,” ungkapnya.
Ia menegaskan, orientasi pertumbuhan ekonomi harus diimbangi pemerataan. “Jika ingin berfokus pada GDP oriented, maka harus diimbangi oleh with equity, agar pencapaian pertumbuhan ekonomi tidak dikuasai oleh oligarki ekonomi yang bekerja sama dengan oligarki politik,” katanya.
Prof Didin menutup dengan penekanan bahwa transformasi oligarki menjadi aktor demokrasi politik dan ekonomi merupakan syarat mutlak untuk menyejahterakan rakyat.
“‘Kedua Oligarki tersebut harus bertransformasi jadi aktor demokrasi politik dan ekonomi sehingga 40 persen penduduk paling bawah akan disejahterakan. Mereka tidak akan termarginalisasi,’ tandasnya.”