NUKILAN.ID | BANDA ACEH — Presiden Mahasiswa (Presma) UIN Ar-Raniry Banda Aceh, Tengku Raja Aulia Habibie, melayangkan kritik tajam terhadap pelaksanaan program Rumah Layak Huni (RLH) yang dikelola Dinas Perumahan dan Kawasan Permukiman (Perkim) Aceh. Ia menilai, program tersebut masih menimbulkan banyak ketimpangan dan belum sepenuhnya berpihak pada masyarakat miskin.
Dalam keterangannya, Habibie juga menyoroti tumpang tindih antara program RLH dengan Bantuan Stimulan Perumahan Swadaya (BSPS) yang dijalankan oleh pemerintah pusat. Menurutnya, dua program yang sejatinya bertujuan membantu masyarakat justru menimbulkan persoalan baru di lapangan.
“Masalahnya bukan hanya pada besaran bantuan, tapi pada sistem yang tidak berpihak pada rakyat kecil. Banyak penerima BSPS yang masih tinggal di rumah yang hampir roboh, berdinding rapuh, dan tidak memiliki fasilitas layak. Namun mereka tidak bisa lagi menerima bantuan RLH karena sudah pernah dibantu. Ini jelas bentuk ketidakadilan kebijakan,” ujar Habibie di Banda Aceh.
Ia menjelaskan, hasil pemantauan mahasiswa di beberapa daerah menunjukkan kondisi yang memprihatinkan. Di Kabupaten Bireuen dan Aceh Utara, misalnya, sejumlah rumah bantuan BSPS tampak tidak layak huni.
“Kami turun langsung ke Bireuen dan Aceh Utara. Fakta di lapangan sungguh memprihatinkan. Ada rumah bantuan BSPS yang dindingnya retak, atap bocor, bahkan sebagian sudah miring dan hampir roboh. Artinya, bantuan dua puluh juta rupiah yang diberikan selama ini jelas tidak cukup untuk menjadikan rumah itu benar-benar layak huni,” jelasnya.
Habibie juga menilai pemerintah belum menunjukkan keseriusan dalam memperbaiki kebijakan tersebut. Banyak warga yang sudah menerima BSPS tidak bisa lagi masuk ke daftar penerima RLH karena alasan administratif, padahal kondisi rumah mereka masih jauh dari kata layak.
Selain itu, ia menyinggung target pembangunan RLH tahun 2025 yang dinilai tidak tercapai. Dari 2.000 unit rumah yang dijanjikan, hanya sekitar 1.470 unit yang terealisasi.
“Pemerintah Aceh harus menjelaskan secara terbuka kemana alokasi anggaran untuk 530 unit rumah yang tidak terealisasi itu. Tidak cukup hanya mengatakan penerima tidak memenuhi syarat. Publik berhak tahu apakah dananya dikembalikan, ditunda, atau malah digunakan untuk hal lain,” tegas Habibie.
Mahasiswa asal Aceh Utara itu juga menyoroti persyaratan penerima RLH yang mewajibkan penerima berusia minimal 40 tahun. Ia menilai aturan tersebut tidak adil dan perlu segera direvisi.
“Banyak masyarakat usia di bawah 40 tahun yang sudah menikah, punya tanggungan, dan hidup dalam rumah sangat tidak layak. Tapi mereka gagal menerima bantuan hanya karena umur. Ini kebijakan yang kaku dan tidak melihat realitas sosial. Umur tidak bisa dijadikan ukuran kelayakan, yang harus jadi dasar adalah kondisi ekonomi dan kebutuhan,” ujar Habibie.
Lebih jauh, Habibie mendesak Kepala Dinas Perkim Aceh untuk bertanggung jawab atas ketimpangan dan lemahnya transparansi pelaksanaan program tersebut. Ia menilai, pejabat publik tidak boleh hanya bergantung pada laporan administratif tanpa memahami kondisi nyata di lapangan.
“Kami menilai Kepala Dinas Perkim Aceh harus bertanggung jawab atas ketimpangan dan ketidakjelasan program ini. Jangan hanya duduk di kantor dan mengandalkan laporan di atas kertas. Turunlah ke lapangan, lihat bagaimana rakyat hidup di rumah yang hampir roboh, sementara data menunjukkan mereka sudah ‘mendapat bantuan’. Ini ironi yang memalukan,” tegasnya.
Menurut Habibie, transparansi data dan pelibatan publik menjadi kunci untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah.
“Kalau Kadis Perkim tidak mampu memastikan transparansi dan pemerataan bantuan, maka sudah sepantasnya dilakukan evaluasi total terhadap kinerjanya. Jabatan publik bukan sekadar posisi administratif, tapi amanah moral yang menyangkut nasib rakyat miskin di Aceh,” sambungnya.
Ia juga mengingatkan bahwa masalah perumahan rakyat bukan semata persoalan infrastruktur, melainkan juga persoalan keadilan sosial dan martabat manusia.
“Kami tidak menuduh siapa pun, tapi kami menuntut transparansi. Pemerintah Aceh harus membuka data penerima bantuan, hasil verifikasi, serta laporan penggunaan anggaran kepada publik. Jangan sampai ada ruang gelap yang menimbulkan dugaan penyimpangan,” lanjutnya.
Habibie menegaskan, kebijakan perumahan perlu segera dievaluasi agar penerima BSPS yang rumahnya masih tidak layak bisa mendapatkan tambahan bantuan dari program RLH.
“Kalau pemerintah benar-benar turun ke lapangan, mereka akan tahu bahwa banyak rumah hasil BSPS masih tidak memenuhi standar kelayakan. Jangan biarkan masyarakat miskin menjadi korban sistem yang tidak sensitif terhadap realitas,” katanya.
Di akhir pernyataannya, Habibie menyerukan agar kebijakan perumahan di Aceh dibenahi secara menyeluruh dengan melibatkan masyarakat sipil, akademisi kampus, dan lembaga independen dalam proses pengawasan.
“Rumah layak huni bukan sekadar proyek angka atau seremonial pembangunan. Ini soal martabat manusia. Negara wajib hadir memastikan setiap warga Aceh punya tempat tinggal yang aman dan layak, bukan sekadar rumah yang tampak berdiri tapi tidak bisa dihuni,” pungkasnya. (XRQ)