Premanisme Ormas dan Ancaman terhadap Demokrasi

Share

NUKILAN.ID | OPINI – Naiknya Prabowo Subianto ke tampuk kekuasaan sebagai Presiden Republik Indonesia memberikan harapan baru bagi stabilitas politik dan pertumbuhan ekonomi nasional. Namun, di balik euforia itu, terselip kegelisahan yang mengendap di ruang publik: kebangkitan organisasi massa bergaya preman yang mendapat ruang baru di era kekuasaannya. Salah satu simbol fenomena ini adalah Rosario de Marshal alias Herkules dan organisasi Gerakan Rakyat Indonesia Bersatu (GRIB Jaya) yang dipimpinnya.

Dalam beberapa bulan terakhir, GRIB Jaya menunjukkan gejala klasik organisasi massa yang menjelma menjadi alat kekuasaan. Mereka beraksi liar di sejumlah daerah, mulai dari membakar mobil operasional polisi hingga menyerbu markas ormas lain. Bahkan, mereka secara terang-terangan mengancam akan mengerahkan massa besar untuk mendatangi kantor gubernur Jawa Barat, walau lokasinya disebut keliru di Kalimantan Tengah.

Ini bukan sekadar ulah ormas biasa. Ini adalah pertunjukan kekuasaan yang dibungkus dengan legitimasi politik.

Hubungan Herkules dengan Prabowo bukanlah rahasia. Keduanya memiliki ikatan sejarah sejak operasi militer di Timor Timur. Herkules, eks pejuang pro-integrasi, dibawa ke Jakarta dan kemudian menancapkan kuku bisnis keamanannya dengan restu kekuatan militer. GRIB Jaya sendiri lahir sebagai organisasi sayap politik Partai Gerindra, kendaraan politik Prabowo.

Kedekatan inilah yang menjelaskan mengapa GRIB Jaya tampak tak tersentuh. Aparat hukum seolah kehilangan taring ketika menghadapi organisasi ini. Bahkan, ketika muncul desakan publik agar polisi bertindak tegas, baru ada respons setelah Presiden Prabowo sendiri memerintahkannya. Itupun dengan sikap setengah hati.

Fenomena ini bukan tanpa preseden. Dalam sejarah politik Indonesia, premanisme telah lama menjadi alat kuasa, mulai dari era Orde Baru hingga reformasi. Dalam buku Politik Jatah Preman” (2015), peneliti asal Australia, Ian Douglas Wilson, mencatat bahwa ormas-ormas bergaya preman berubah menjadi pemain politik pascareformasi. Mereka menjadi mitra bagi elite politik dalam memobilisasi suara dan melindungi kepentingan.

Herkules adalah contoh nyata dari model ini. Ia bukan hanya tokoh jalanan, tetapi juga aktor politik yang mengerti betul cara memanfaatkan demokrasi. Di satu sisi, GRIB Jaya berlindung di balik kebebasan berserikat dan menyatakan diri sebagai representasi rakyat kecil. Namun di sisi lain, mereka mengintimidasi, memalak, bahkan mengancam kebebasan ekonomi.

Kasus penggangguan terhadap proyek pabrik BYD, produsen kendaraan listrik asal Cina, di Subang, Jawa Barat, menjadi ilustrasi bagaimana ormas semacam ini dapat mengancam iklim investasi. Di tengah upaya besar Indonesia menarik investasi asing dan mendorong pertumbuhan ekonomi hingga 8 persen, kehadiran kelompok preman menjadi batu sandungan serius.

Persoalan ini juga bisa berimplikasi terhadap perumusan kebijakan yang lebih luas. Muncul kekhawatiran bahwa situasi semacam ini dapat dijadikan dalih untuk merevisi Undang-Undang Organisasi Kemasyarakatan. Di satu sisi, publik tentu menginginkan ketegasan terhadap ormas-ormas liar. Namun di sisi lain, ada kekhawatiran bahwa revisi undang-undang akan dimanfaatkan untuk merepresi kelompok-kelompok kritis yang justru menjadi pilar demokrasi.

Dalam situasi ini, Presiden Prabowo menghadapi ujian penting. Apakah ia akan memilih jalan populis dengan memelihara loyalitas kelompok-kelompok seperti GRIB Jaya demi stabilitas semu dan perhitungan politik jangka pendek? Atau, ia berani mengambil sikap tegas dengan memutus mata rantai hubungan antara kekuasaan dan premanisme?

Kebijakan yang setengah hati hanya akan membuat demokrasi kian cacat. Ketika aparat hukum tunduk pada tekanan kekuasaan informal, dan ketika negara membiarkan kelompok premanisme menjadi alat kendali sosial, maka cita-cita besar seperti pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan negara hukum yang berkeadilan hanya akan menjadi ilusi.

Dalam demokrasi yang sehat, kekuasaan harus berjarak dari kekerasan jalanan. Hubungan patron-klien antara elite dan ormas harus diputus demi kepentingan bangsa yang lebih besar. Indonesia butuh pemimpin yang berani menempatkan hukum di atas loyalitas politik. Dan saat inilah Prabowo diuji: apakah ia seorang negarawan, atau hanya politisi lain yang memelihara para preman sebagai alat kekuasaan?

Jika tidak segera bertindak tegas, Herkules dan GRIB Jaya bukan hanya akan menjadi kerikil dalam sepatu kekuasaan Prabowo, tetapi juga ranjau bagi demokrasi Indonesia. (XRQ)

Reporter: Akil

spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img

Read more

Local News