Prabowo di Persimpangan: Menyokong Ambisi Jokowi atau Menyelamatkan Demokrasi?

Share

NUKILAN.id | Opini – Kerusakan yang ditimbulkan oleh Presiden Joko Widodo di akhir masa pemerintahannya bisa menjadi beban berat bagi pemerintahan baru di bawah Prabowo Subianto. Bukan hanya meninggalkan tumpukan utang proyek infrastruktur, tetapi juga kerusakan sistem hukum dan politik akibat kebijakan yang dinilai tidak taat aturan dan tidak demokratis.

Sungguh aneh bila Prabowo yang telah dipilih rakyat menjadi Presiden justru menjadi pendukung strategi Jokowi yang bisa merepotkannya kelak. Motor pembahasan Rancangan Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah (RUU Pilkada) yang ingin menjegal putusan Mahkamah Konstitusi (MK) adalah politikus Partai Gerindra, partai yang dipimpin oleh Prabowo. Ketua Harian Gerindra yang juga Wakil Ketua DPR, Sufmi Dasco Ahmad, bersama Menteri Hukum dan HAM, Supratman Andi Agtas, memaksakan pembahasan RUU Pilkada untuk menganulir putusan MK. Badan Legislasi DPR bahkan bersidang sehari setelah Mahkamah Konstitusi mengesahkan putusan nomor 60 tahun 2024.

Pada Rabu, 21 Agustus 2024, hakim konstitusi menganulir syarat partai memperoleh 25% suara sah dalam pemilu untuk bisa mengajukan calon kepala daerah. Putusan lainnya, nomor 70 tahun 2024, memastikan batas usia calon kepala daerah adalah 30 tahun saat pencalonan, bukan saat pelantikan seperti sebelumnya ditafsirkan oleh Mahkamah Agung.

Dua putusan MK ini memungkinkan pilkada yang lebih demokratis. Partai-partai tidak bisa lagi membentuk koalisi besar untuk mengusung calon kepala daerah, sehingga publik memiliki lebih banyak pilihan calon pemimpin. Putusan progresif MK ini membuyarkan skenario Koalisi Indonesia Maju yang dipaksa melayani ambisi politik Jokowi, agar bisa menang mudah dalam Pilkada serentak di 37 provinsi, 415 kabupaten, dan 93 kota.

Putusan MK tentang usia minimal calon kepala daerah juga menghalangi ambisi Jokowi yang ingin menjadikan putranya, Kaesang Pangarep, sebagai kandidat kepala daerah. Kaesang baru akan berusia 30 tahun pada 25 Desember 2024, sementara Pilkada serentak digelar pada 27 November 2024. Dengan demikian, keputusan MK ini mampu mencegah politik dinasti Jokowi meluas hingga daerah, setelah sukses mengantarkan anaknya yang lain, Gibran Rakabuming Raka, menjadi Wakil Presiden.

Meskipun banyak yang mendukung putusan MK, Prabowo Subianto justru membiarkan anak buahnya di Gerindra menjadi alat Jokowi untuk merusak demokrasi. Demonstrasi besar di banyak daerah pada 22 Agustus 2024 berhasil menggagalkan pengesahan undang-undang Pilkada baru itu, meskipun upaya politikus untuk mengakalinya belum sepenuhnya tertutup. Komisi Pemilihan Umum Jakarta kemudian mengeluarkan pengumuman dan aturan yang mengacu pada putusan MK, yaitu usia calon kepala daerah minimal 30 tahun dan ambang batas suara sah partai sebesar 7,5% untuk mengajukan calon gubernur.

Secara politik, tidak ada untungnya bagi Prabowo membiarkan, bahkan menyokong, upaya Jokowi yang ingin menganulir putusan MK tersebut. Kalaupun ada, keuntungan kecil yang didapat Prabowo mungkin hanyalah terjegalnya tokoh populer yang bisa mengganjalnya untuk terpilih kembali pada Pemilihan Presiden 2029. Misalnya, jika PDI Perjuangan mengajukan Anies Baswedan sebagai kandidat kepala daerah Jakarta. Mantan Gubernur Jakarta ini memang menjadi pesaing terberat Prabowo pada Pilpres tahun ini.

Namun, ada risiko lain. Ridwan Kamil yang sudah dicalonkan sebagai Gubernur Jakarta oleh Koalisi Indonesia Maju juga bisa menjadi pesaing Prabowo pada 2029. Menentang kehendak publik terus-menerus hanya akan membuat pemerintahan Prabowo Subianto tidak efektif. Ia harus menghadapi oposisi keras yang bisa membuatnya harus menggunakan kekuatan tangan besi, yang sudah terbukti menjatuhkan mantan mertuanya, Presiden Soeharto, pada 1998.

Membuat Indonesia tidak demokratis juga dapat menggagalkan cita-cita Prabowo untuk menjadikan Indonesia sebagai macan Asia, sebab otoritarianisme selalu menjadi penghambat kemajuan dan pertumbuhan ekonomi. Oleh karena itu, Prabowo tidak memiliki pilihan lain selain menghentikan ilusi Jokowi yang ingin melanggengkan kekuasaan melalui dinasti dan perusakan hukum, demi tetap relevan dalam kekuasaan setelah tak menjadi presiden.

Saatnya bagi Prabowo, sebagai ketua partai terbesar ketiga dan presiden terpilih, menjadikan Jokowi tak lagi relevan demi meringankan beban pemerintahannya yang akan dimulai pada 20 Oktober 2024.

Penulis: Akil Rahmatillah (Alumni Pemerintahan USK)

spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img

Read more

Local News