Nukilan.id – Presiden terpilih, Prabowo Subianto baru saja mengumumkan nama-nama menteri, wakil menteri, dan kepala badan di kabinetnya untuk periode 2024-2029 yang bernama Kabinet Merah Putih usai dirinya dilantik sebagai presiden di Istana Kepresidenan, Jakarta, Minggu (20/10/2024) malam. Di antara nama yang diumumkan adalah Menteri Koordinator Bidang Bidang Hukum, HAM, Imigrasi dan Pemasyarakatan (Menkokumham), Yusril Ihza Mahendra dan Wakil Menkokumham, Otto Hasibuan.
Namun usai dilantik, Menkokumham Yusril Ihza Mahendra langsung menuai kontroversi dan kritik dari publik terkait pernyataannya. Dia menyebutkan bahwa peristiwa tahun 1998 bukanlah merupakan pelanggaran HAM berat. Yusril menambahkan, peristiwa HAM berat terakhir terjadi saat masa penjajahan dan tidak terjadi lagi sejak beberapa puluh tahun terakhir.
“Dalam beberapa dekade terakhir ini hampir bisa dikatakan tidak ada kasus-kasus pelanggaran HAM berat. Enggak,” jawab Yusril ketika ditanya wartawan apakah peristiwa 1998 merupakan pelanggaran HAM berat, dikutip Nukilan dari CNN, Senin (21/10/2024).
Dia kemudian menjelaskan, setiap kejahatan merupakan pelanggaran HAM. Namun menurutnya, tidak semua kejahatan termasuk sebagai pelanggaran HAM berat.
Sebelumnya, peristiwa 1998 kembali menjadi sorotan usai Prabowo Subianto menjadi presiden. Dia dikenal sebagai sosok yang diduga terlibat dalam pelanggaran HAM yang terjadi pada tahun 1998, salah satunya terkait penghilangan paksa para aktivis. Panglima Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) saat itu, Jenderal Wiranto membentuk Dewan Kehormatan Pembina (DKP) untuk memeriksa Prabowo. Hasilnya, Prabowo dinyatakan bersalah sesuai dengan keputusan nomor: KEP/03/VIII/1998/DKP. Imbasnya, Prabowo diberhentikan dari dinas kemiliteran. Namun, kasus penghilangan paksa belum terselesaikan hingga kini.
Padahal, Presiden Jokowi sebelumnya sudah mengakui terdapat sebanyak 12 kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi di Indonesia di mana tiga di antaranya terjadi pada tahun 1998, yaitu penembakan mahasiswa Universitas Trisakti pada 12 Mei 1998, kerusuhan 13-15 Mei 1998, dan penghilangan paksa 14 orang pada tahun 1997-1998.
Belakangan, Yusril mengklarifikasi pernyataannya terkait peristiwa 1998 yang disebutnya bukanlah merupakan pelanggaran HAM berat. Dia mengaku saat itu tahu dengan jelas maksud dari pertanyaan wartawan yang mewawancarainya. Dia berdalih memahami pertanyaan wartawan itu terkait dengan genosida dan ethnic cleansing (pemusnahan etnis). Karena itu, dia menyebut dua poin tersebut tidak terjadi pada tahun 1998.
Yusril juga mengaku bahwa dia memahami pengadilan HAM sehingga bisa mengetahui peristiwa apa saja yang bisa dikategorikan sebagai pelanggaran HAM berat. Dia berjanji ke depan pemerintah akan melakukan pengkajian mendalam terkait dugaan pelanggaran HAM.
“Ya semuanya nanti kita lihat apa yang direkomendasikan oleh Komnas HAM kepada Pemerintah. Karena kemarin tidak begitu jelas apa yang ditanyakan kepada saya. Kita memiliki suatu keyakinan yang teguh bahwa pemerintah yang baru di bawah kepemimpinan Pak Prabowo Subianto ini mempunyai komitmen yang teguh dalam melaksanakan hukum dan keadilan,” kata Yusril, dilansir Detik, Selasa (22/10/2024).
Namun, pernyataan Yusril kadung mengundang keriuhan di kalangan publik. Mantan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam), Mahfud MD mengatakan Yusril tak berhak memberikan pernyataan terkait hal tersebut karena itu bukanlah merupakan wewenangnya. Menurut Mahfud MD, berdasarkan Undang-undang (UU), yang boleh menyatakan pelanggaran HAM berat itu terjadi atau tidak bukanlah menteri koordinator, tapi Komisi Nasional (Komnas) HAM.
Selain itu, kata Mahfud, sangat keliru jika Yusril mengatakan bahwa tragedi 1998 bukanlah merupakan pelanggaran HAM berat padahal sudah diakui oleh pemerintah sendiri sebelumnya.
“Ya sudah, itu sudah ditetapkan Komnas HAM, diakui saja, tapi kita tidak pernah minta maaf kepada siapapun. Nah itu kan kesalahan pemerintah yang lalu-lalu yang sudah bertindak,” ujar Mahfud MD saat ditemui di kompleks Kementerian Pertahanan, dikutip dari Tempo, Selasa (22/10/2024).
Mengaburkan Tanggung Jawab Negara
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid menegaskan tak sepantasnya pejabat pemerintah seperti Menkokumham Yusril Ihza Mahendra mengeluarkan pernyataan yang keliru tentang HAM, terlebih lagi dari pejabat yang salah satu urusannya terkait dengan legislasi bidang HAM yang artinya tidak mencerminkan pemahaman UU yang benar.
Usman menambahkan, pernyataan itu juga mengabaikan laporan-laporan resmi tim pencari fakta gabungan bentukan pemerintah dan penyelidikan pro-justicia Komnas HAM yang menyimpulkan adanya pelanggaran HAM berat dalam bentuk crimes against humanity atau kejahatan terhadap kemanusiaan. Pelanggaran HAM berat menurut hukum nasional, kata Usman Hamid, bukan hanya genosida dan pemusnahan etnis.
Selain itu, pernyataan Yusril juga dianggap bukan saja tidak akurat secara historis dan hukum, tapi juga menunjukkan sikap nirempati pada korban yang mengalami peristiwa pelanggaran HAM ini. Tragedi Mei 1998 menyisakan luka mendalam bagi korban yang kehilangan orang-orang tercinta akibat kekerasan massal, perkosaan, penjarahan, dan pembunuhan yang menargetkan kelompok etnis tertentu, dalam konteks saat itu komunitas Tionghia. Apalagi, sambung Usman, pernyataan ini disampaikan pada hari kerja pertama Yusril sebagai Menkokumham. Hal ini menjadi sinyal bahwa pemerintahan baru mengaburkan tanggung jawab negara dalam menuntaskan kasus-kasus pelanggaran HAM yang berat di masa lalu.
“Pernyataan ini tidak mencerminkan pemahaman undang-undang yang benar, khususnya pengertian pelanggaran HAM yang berat pada penjelasan Pasal 104 Ayat 1 dari UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM maupun Pasal 7 UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Komnas HAM pun harus membantah pernyataan Yusril dan mendesak penuntasan pelanggaran HAM masa lalu, termasuk tragedi Mei 98 hingga tuntas,” ujar Usman Hamid dalam keterangan resminya, Senin (21/10/2024).
Sementara Komisioner Komnas HAM, Anis Hidayah mengatakan pihaknya mendorong pemerintah untuk berkomitmen menindaklanjuti hasil penyelidikan Komnas HAM terkait dengan pelanggaran HAM berat masa lalu. Hal itu, kata Anis bisa diwujudkan dalam bentuk penuntasan melalui penegakan hukum dan memastikan pemulihan bagi korban dan keluarga korban.
Dia menegaskan bahwa peristiwa 1998 merupakan pelanggaran HAM berat berdasarkan penyelidikan yang telah dilakukan Komnas HAM pada tahun 2003 lalu. Hasil penyelidikan menunjukkan bahwa telah terjadi pelanggaran HAM berat dalam bentuk kejahatan terhadap kemanusiaan.
“Terjadinya serangan yang meluas, sistematis dalam bentuk pembunuhan, penganiayaan, penghilangan kemerdekaan, penghilangan paksa, penderitaan fisik. Dan hasil itu sudah kami sampaikan ke Jaksa Agung. Jadi bolanya kan sekarang di Jaksa Agung untuk menindaklanjuti dengan penyidikan,” kata Anis, dikutip VOA, Selasa (22/10/2024).
Berdasarkan penyelidikan Komnas HAM, setidaknya terdapat 19 kasus dugaan pelanggaran HAM berat masa lalu. 17 kasus di antaranya telah rampung diselidiki dan ditetapkan sebagai peristiwa pelanggaran HAM berat oleh Komnas HAM. Di antaranya yaitu peristiwa pembunuhan massal (1965-1966), penembakan misterius (petrus) (1982-1985), tragedi Talangsari (1989), peristiwa Rumoh Geudong dan Pos Sattis (1989), penculikan aktivis (1997-1998), kerusuhan Mei 1998, peristiwa Trisakti dan Semanggi I dan II (1998-1999), pembunuhan dukun santet (1998-1999), tragedi Simpang KKA (1999), tragedi Wasior (2001-2002), tragedi Wamena (2003), dan tragedi Jambo Keupok (2003). Sementara kasus yang sudah diadili yaitu Timor-Timur (1999), Tanjung Priok (1984), Abepura (2000), dan Paniai (2014).
Penyangkalan yang Terorganisir
Kepala Divisi Pemantauan dan Impunitas Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Jane Rosalina mengatakan klarifikasi dari Yusril tetap saja menjadi polemik di masyarakat karena dia juga sempat menyatakan beberapa hal yang menurutnya bermasalah. Di antaranya pernyataan Yusril bahwa penyelesaian kasus 1998 cukup sulit mengingat peristiwanya sudah sangat lama terjadi, sehingga dia meminta masyarakat tidak perlu melihat ke masa lalu lagi.
Jane menyebutkan, pernyataan ini menjadi bermasalah karena menjadi bukti bagaimana negara berusaha mengabaikan kasus pelanggaran berat HAM yang pernah terjadi di Indonesia dan juga menjadi bentuk penyangkalan yang terorganisir oleh negara. Pernyataan tersebut menurut Jane juga mengindikasikan bahwa pemerintah tidak memiliki komitmen kuat untuk menuntaskan kasus pelanggaran HAM berat. Dia juga menyorot visi misi program Prabowo-Gibran yang tertuang dalam program Asta Cita. Dalam program tersebut sama sekali tidak memasukkan agenda penuntasan pelanggaran HAM berat dalam rencana penegakan HAM ke depannya.
Padahal, sambung Jane, semestinya negara menyelesaikan kasus tersebut demi kebaikan dan hak atas kebenaran bagi generasi yang akan datang. Demikian pula, generasi yang akan datang berhak mendapatkan jaminan bahwa peristiwa ini tidak terjadi lagi di masa yang akan datang. Inilah pekerjaan rumah (PR) yang harus dituntaskan pemerintahan Prabowo-Gibran dengan Kabinet Merah Putih-nya, terutama untuk Menkumham Yusril Ihza Mahendra dan Menteri HAM, Natalius Pigai. ***
Reporter: Sammy