Nukilan.id – Tiga mantan Anak Buah Kapal (ABK) yang menggugat Presiden Republik Indonesia mengapresiasi langkah pemerintah yang telah mengesahkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 22 Tahun 2022 tentang Penempatan dan Pelindungan Awak Kapal Niaga Migran dan Awak Kapal Perikanan Migran, Rabu lalu.
Aturan tersebut terbit empat tahun setelah Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia disahkan. Pasal 90 dalam undang-undang tersebut menyatakan bahwa peraturan pemerintah sebagai turunannya terbit selambat-lambatnya dua tahun.
Kendati terlambat, para ABK berharap aturan tersebut dapat menjadi awal dari pembenahan tata kelola penempatan dan perlindungan ABK migran Indonesia di kapal penangkap ikan berbendera asing.
“Dengan disahkannya (aturan ini), tentu saja saya senang. Berarti perjuangan saya dan teman-teman selama ini tidak sia-sia,” kata Pukaldi Sassuanto, mantan ABK sekaligus penggugat dalam pernyataan tertulis, Jumat 10 Juni 2022.
Pukaldi, asal Bengkulu, bersama dua ABK lain bernama Jati Puji Santoso dan Rizki Wahyudi asal Jawa Tengah pernah bekerja di kapal asing. Ketiganya mengalami kekerasan selama bekerja dan hingga kini masih menunggu haknya dibayarkan.
“Kami berharap pemerintah juga segera mengambil langkah tegas agar pihak-pihak yang bertanggung jawab dapat membayarkan hak gaji saya yang belum terbayar sampai sekarang. Saya bekerja selama 2,5 tahun, tapi hak gaji saya sama sekali belum terbayar. Perjuangan belum berakhir,” terangnya.
Presiden Jokowi meneken aturan penempatan dan perlindungan ABK itu bersamaan dengan sidang pertama gugatan Pukaldi, Jati, dan Rizki di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta. Perwakilan pemerintah tidak hadir dalam sidang tersebut.
Viktor Santoso Tandiasa, kuasa hukum ketiga ABK tersebut, berharap perwakilan pemerintah dapat hadir di sidang kedua pada Rabu, 15 Juni, dan menyampaikan secara resmi bahwa objek yang digugat telah dikabulkan. Dengan demikian gugatan administratif dapat dicabut.
“Namun demikian perjuangan tidak berhenti di situ. Kita akan terus menempuh upaya lain untuk memperjuangkan hak-hak para penggugat yang belum diberikan. Selain itu, kita juga perlu mengkaji isi dari aturan ini guna memastikan substansinya benar-benar dapat memberikan perlindungan bagi para ABK migran asal Indonesia,” tutur Viktor.
Langkah hukum yang dilakukan para ABK ini didukung oleh Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) dan Greenpeace Indonesia. Ketua Umum SBMI Hariyanto Suwarno menjelaskan bahwa upaya hukum menggugat presiden ke PTUN memang harus dilakukan karena pemerintah telah abai, serta tidak menjalankan amanat Pasal 64 dan Pasal 90 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia.
“Faktanya, Presiden baru mau menandatangani aturan turunan ini setelah tiga mantan ABK perikanan mengajukan gugatan ke PTUN. Artinya, untuk perbaikan tata kelola penempatan dan perlindungan ABK, SBMI bersama Greenpeace Indonesia dan jaringan memang harus terus mendorong dan mendesak pemerintah agar menjalankan tugas dan kewajibannya sebagaimana yang diamanatkan UU,” jelas Hariyanto.
Juru kampanye laut Greenpeace Indonesia Afdillah menilai aturan tersebut sebagai kemenangan signifikan bagi para ABK. Namun, di satu pihaknya kecewa atas keterlambatan pemerintah. Sehingga banyak ABK yang mengalami eksploitasi dan perbudakan, bahkan kehilangan nyawa.
“Meski begitu, hadirnya PP tersebut tetap menjadi kemenangan signifikan dari kampanye kita untuk mendorong Indonesia dan negara-negara lain yang berada dalam lingkaran bisnis perikanan global, untuk bergerak ke arah yang sama mengakhiri praktek perbudakan di laut, dan menegakkan pengelolaan perikanan yang lebih bertanggung jawab secara sosial dan lingkungan,” pungkas Afdillah. [Betahita]