Polemik Rute Baru Kapal Aceh Hebat, Mahasiswa Simeulue Soroti Penyimpangan Tujuan Awal dan Ancaman terhadap Ekonomi Daerah

Share

NUKILAN.ID | BANDA ACEH — Rencana Pemerintah Aceh memperluas trayek KMP Aceh Hebat 1 untuk melayani rute internasional dari Pelabuhan Krueng Geukueh (Aceh Utara) menuju Penang, Malaysia, menuai perdebatan. Sekilas, wacana tersebut dipromosikan sebagai langkah strategis untuk membuka jalur ekspor, memperkuat ekonomi, hingga menunjang wisata medis.

Namun, menurut Yoyon Nofanta, Mahasiswa Simeulue di Banda Aceh, kebijakan ini justru menyimpan persoalan mendasar jika ditinjau dari kacamata kebijakan publik dan logistik maritim. Ia menilai, alih-alih menjadi terobosan, wacana ini berpotensi menjadi keputusan keliru yang mengabaikan kebutuhan mendasar masyarakat kepulauan.

Yoyon menjelaskan bahwa terdapat dua kepentingan besar yang saling bertentangan: ambisi menggaungkan prestise internasional versus kewajiban negara memenuhi pelayanan dasar transportasi untuk wilayah terluar.

Kepada Nukilan.id ia menyampaikan bahwa pemerintah perlu kembali pada tujuan awal pengadaan kapal tersebut.

“Pertama, kita harus kembali ke khittah (tujuan dasar) mengapa kapal ini dibeli. KMP Aceh Hebat 1, 2, dan 3 diadakan menggunakan APBA dengan semangat konektivitas wilayah 3TP (Tertinggal, Terdepan, Terluar). Secara spesifik, KMP Aceh Hebat 1 didesain dengan tonase besar (1300 GT) untuk membelah ombak Samudra Hindia demi melayani masyarakat Pulau Simeulue yang selama ini terisolasi,” jelasnya.

Yoyon menyebut Aceh Hebat 1 sebagai “jembatan terapung” bagi Simeulue, karena keberadaannya langsung memengaruhi stabilitas harga barang kebutuhan pokok. Ketika kapal beroperasi, harga telur, beras, dan semen di Sinabang terkendali. Sebaliknya, ketika armada ini tidak melaut, harga-harga melonjak tajam.

Karena itu, rencana mengalihkan atau membagi jadwal Aceh Hebat 1 untuk rute internasional dianggapnya sebagai bentuk penyimpangan dari mandat publik. Ia menilai, aset negara yang dibeli dari uang rakyat untuk fungsi pelayanan publik tidak semestinya dibebani ambisi komersial yang belum jelas hasilnya, terlebih jika berdampak pada kelompok masyarakat yang paling bergantung pada layanan tersebut.

Pemerintah Aceh sebelumnya menyatakan bahwa rute Penang hanya merupakan penambahan yang tidak akan mengganggu jadwal reguler Calang–Simeulue. Namun, Yoyon meragukan argumen tersebut.

Ia mengurai hitungan teknisnya: perjalanan dari Krueng Geukueh ke Penang berjarak sekitar 200–225 mil laut. Dengan kecepatan operasional KMP Aceh Hebat 1 yang berada pada kisaran 10–12 knot, perjalanan satu arah membutuhkan waktu 20–22 jam. Bila dihitung pulang-pergi, durasi pelayarannya mencapai sekitar 44 jam, belum termasuk waktu sandar, bongkar muat, serta prosedur imigrasi dan karantina di pelabuhan internasional.

Karena itu, menurutnya, penambahan rute internasional minimal akan memakan tiga hari operasional.

“Mustahil menyelipkan agenda 3 hari ini ke dalam jadwal mingguan rute Calang-Simeulue tanpa mengurangi frekuensi pelayaran ke Simeulue,” ujarnya. Bila dipaksakan, kata dia, kapal akan beroperasi tanpa waktu istirahat dan perawatan yang memadai, yang pada akhirnya dapat memperpendek usia teknis kapal.

Aspek keadilan sosial juga menjadi kritik utama. Rute Krueng Geukueh–Penang nantinya lebih banyak melayani kebutuhan tersier seperti wisata dan perjalanan medis warga kelas menengah, sementara rute Calang–Simeulue adalah jalur vital untuk pasokan pangan dan material bangunan.

“Apakah etis mempertaruhkan stabilitas pangan masyarakat Simeulue demi memfasilitasi perjalanan wisata ke Penang? Dalam kaidah kebijakan publik, negara harus hadir memprioritaskan mereka yang paling rentan dan tidak memiliki alternatif,” tegas Yoyon.

Ia menambahkan, masyarakat Aceh Utara masih memiliki pilihan transportasi lain seperti transportasi darat dan Bandara Malikussaleh. Berbeda dengan Simeulue yang sepenuhnya bergantung pada jalur laut.

Yoyon kemudian memberikan sejumlah rekomendasi. Pertama, ia meminta pemerintah untuk mengembalikan Aceh Hebat 1 ke fungsi utamanya sebagai kapal penghubung wilayah pesisir barat selatan, khususnya Simeulue, Singkil, dan Calang. Kepastian jadwal dan kualitas perawatan kapal, menurutnya, sudah menjadi pencapaian besar bagi masyarakat kepulauan.

Ia juga menyarankan agar rute internasional Penang dibuka melalui skema investasi swasta jika dinilai potensial secara ekonomi. Menurutnya, investor tentu akan membawa kapal cepat yang lebih layak untuk rute internasional, bukan kapal feri lambat seperti Aceh Hebat 1.

Selain itu, jika tujuan pemerintah adalah mendorong ekspor, ia menilai penggunaan kapal kargo jauh lebih tepat ketimbang memaksakan kapal penumpang jenis Ro-Ro.

Di akhir pernyataannya, Yoyon menegaskan bahwa konektivitas global memang penting, tetapi tidak boleh dibangun dengan mengorbankan masyarakat yang berada di garis depan pembangunan. Ia mengingatkan agar ambisi besar Aceh tidak justru menghadirkan ironi bagi warga Simeulue yang merasa kehilangan kapal yang selama ini mereka andalkan. (XRQ)

Reporter: AKIL

spot_img
spot_img
spot_img

Read more

Local News