Polemik Bendera One Piece, Pengamat Soroti Ketidaksiapan Aparat Hadapi Ekspresi Anak Muda

Share

NUKILAN.ID | BANDA ACEH – Bendera bajak laut dari serial animasi Jepang One Piece kini menjadi sorotan di berbagai ruang publik Indonesia. Simbol tengkorak dengan topi jerami—yang selama ini hanya hidup di dunia fiksi—tiba-tiba hadir dalam demonstrasi mahasiswa, diskusi publik, hingga spanduk komunitas pemuda.

Namun, kemunculan simbol ini rupanya tidak diterima dengan santai. Beberapa aparat dan otoritas kampus bereaksi secara keras. Bahkan, di sejumlah daerah, muncul instruksi tidak resmi yang melarang pengibaran bendera tersebut di ruang-ruang publik, dengan dalih menjaga ketertiban umum dan menghindari provokasi ideologis.

Respons yang represif ini menunjukkan kecenderungan sejumlah institusi untuk menjauh dari pendekatan kultural. Alih-alih memahami konteks simbol tersebut sebagai ekspresi budaya anak muda, sebagian pihak justru melabelinya sebagai provokasi, bahkan sampai dicurigai sebagai simbol radikalisme terselubung.

Menanggapi hal tersebut, pengamat kebijakan publik, M. Ikram Al Ghifari, menilai bahwa reaksi pemerintah sangat mencerminkan kegagapan dalam membaca pola ekspresi generasi muda saat ini.

“Kita sedang menyaksikan simbol fiksi yang digunakan sebagai media ekspresi sosial politik. Ini bukan soal anime semata, tapi bagaimana generasi muda mulai mencari representasi baru untuk menyuarakan keresahan mereka,” katanya.

Ia menjelaskan bahwa simbol-simbol seperti bendera bajak laut tidak bisa lagi dilihat semata sebagai hiasan atau tren pop culture. Di baliknya, tersimpan pesan ketidakpuasan terhadap realitas sosial dan politik.

“Ketika simbol seperti bendera One Piece diangkat, itu artinya ada krisis kepercayaan terhadap simbol formal negara,” ucapnya.

Menurut Ikram, ketakutan negara terhadap simbol budaya populer menunjukkan adanya hubungan yang belum tuntas antara otoritas dan warganya yang muda.

“Ketika negara merasa terancam oleh simbol budaya populer, kita sedang melihat betapa tipisnya kepercayaan negara terhadap generasi mudanya sendiri. Ini bukan soal bendera, tapi soal narasi,” ungkapnya.

Ia menambahkan bahwa anak muda kini menolak bentuk ekspresi yang formalistik dan hampa makna. Mereka merindukan simbol-simbol yang lebih autentik dan dekat dengan pengalaman sehari-hari.

“Anak muda tidak lagi percaya pada orasi formal yang kosong. Mereka mencari identitas dalam narasi yang jujur, dalam simbol yang mencerminkan perjuangan,” ujarnya.

Dalam situasi seperti ini, pelarangan justru berisiko memperkuat daya simbolik yang ingin ditekan. Negara, menurut Ikram, justru sedang mempertontonkan kecemasan yang tak proporsional.

“Dan ketika pemerintah mulai membatasi simbol itu, yang tampak bukan kontrol, tapi ketakutan yang tidak rasional,” tambahnya.

Ia menutup dengan pertanyaan reflektif yang menggelitik, menyiratkan bahwa persoalan sebenarnya bukan terletak pada benderanya, melainkan pada kekhawatiran negara terhadap perubahan kesadaran kolektif anak muda.

“Apakah pemerintah benar-benar takut pada selembar kain bertengkorak kartun? Atau sebenarnya, yang ditakutkan adalah kesadaran baru yang tumbuh di kalangan anak muda. Kesadaran untuk tidak lagi tunduk secara membuta, untuk bertanya, dan untuk menjadi manusia merdeka?” tanyanya.

spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img

Read more

Local News