NUKILAN.id | Feature – Mendung menggelayut manja menaungi kawasan Gampong Punge Blang Cut, Kecamatan Jaya Baru, Banda Aceh. Hari itu, Kamis, 14 November 2024, hujan baru saja berhenti. Rintik air yang baru reda menyisakan aroma khas yang menguar dari aspal yang basah.
Disudut parkiran, mobil pengunjung yang mengunjungi situs tsunami Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD) Apung telah memenuhi area parkir. Dilihat dari plat kendaraan yang kebanyakan non BL, pengunjung yang datang dipastikan didominasi oleh masyarakat luar Aceh alias wisatawan domestik.
Para pengunjung belum bisa memasuki tempat tersebut, dikarenakan pintu utamanya belum dibuka. Maklum saja, saat itu sedang jam istirahat dimana para petugas nya sedang makan siang dan melaksanakan ibadah shalat Zhuhur. Sembari menunggu gerbang dibuka, beberapa pengunjung berkeliling ke gerai oleh-oleh khas Aceh yang ada di sekitar lokasi.
Seiring waktu, awan yang gelap mulai menghilang, dan matahari yang sebelumnya tertutup perlahan menampakkan diri. Tepat pukul 14.00 WIB, pintu dibuka. Para pengunjung segera masuk, antusias melihat langsung jejak kedahsyatan tsunami Aceh yang terjadi pada 2004 silam.
Seorang pengunjung asal Jakarta, Jamal, yang sempat ditemui media ini mengaku takjub melihat museum PLTD Apung. Baru kali ini dirinya melihat secara langsung kapal yang telah berubah fungsi menjadi museum itu berada di daratan. Sebelumnya, ia hanya mendengar cerita tentang museum PLTD Apung dari kolega dan sahabatnya yang pernah mendatangi tempat tersebut.
“Subhanallah. Bagaimana bisa kapal sebesar ini terseret ke tengah daratan seperti ini. Tuhan telah menunjukkan kebesarannya bang,” ucapnya takjub.
Pengunjung lainnya, Taufik, mengaku datang bersama keluarganya ke tempat tersebut. Warga Sibolga, Sumatera Utara ini menerangkan, ia telah dua kali mengunjungi destinasi wisata yang satu ini.
“Banyak keluarga saya yang penasaran dengan kapal apung ini. Begitu sampai di Aceh, tempat ini menjadi destinasi prioritas yang wajib dikunjungi,” tutur Taufik.
Sejarah Museum PLTD Apung
Dirangkum dari berbagai literatur, kapal PLTD Apung merupakan sebuah kapal yang memiliki luas sekitar 1.900 meter persegi, dengan panjang mencapai 63 Meter. Memiliki bobot 2.600 ton, kapal ini terseret sejauh 3 kilometer ke pusat kota Banda Aceh oleh gelombang tsunami yang terjadi di penghujung tahun 2004.
Konon, gempa bumi yang berkekuatan 9 skala richter dan disusul gelombang tsunami yang terjadi kala itu merupakan salah satu bencana terdahsyat yang pernah terjadi dalam sejarah peradaban manusia.
Mengutip informasi dari Kebudayaan Kemdikbud, Kapal PLTD Apung dibuat pada tahun 1996 di Batam. Kemudian kapal ini dipakai di Pontianak pada tahun 1997. Memiliki mesin pembangkit listrik berkekuatan daya mencapai 10,5 megawatt, kapal ini bertugas untuk mengatasi berbagai masalah kelistrikan.
Selanjutnya pada tahun 1999, kapal ini pernah digunakan untuk mengatasi krisis listrik di Bali. Pada tahun 2000, kapal ini juga turut mengatasi masalah kelistrikan di Madura dan kembali lagi ke Pontianak pada tahun 2001.
Atas permintaan Abdullah Puteh, Gubernur Aceh saat itu, kapal PLTD Apung pun tiba di perairan Ulee Lheu untuk mengatasi krisis listrik yang terjadi kala itu.
Keberadaan museum kapal PLTD Apung telah menjadi gambar kedahsyatan gelombang tsunami di tengah bencana yang tak terperi. Setelah masa pemulihan akibat bencana tsunami, kapal yang semula berfungsi sebagai pembangkit listrik tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya.
Kemudian, Pemerintah Aceh menyulap kapal tersebut menjadi Museum PLTD Apung sebagai tempat wisata pasca tsunami. Hal ini bertujuan agar generasi selanjutnya dapat menyaksikan efek dahsyat yang ditimbulkan oleh kejadian tersebut dan pengingat sejarah bencana yang pernah terjadi.
Kini, bagian dalam kapal PLTD Apung difungsikan sebagai museum edukasi tentang mitigasi bencana yang diisi dengan berbagai informasi dalam berbentuk video ilustrasi tentang proses terdamparnya kapal PLTD Apung.
Dalam momentum tertentu, museum PLTD Apung juga menjadi lokasi pembelajaran lapangan bagi para guru untuk memperkenalkan kepada para murid tentang kebencanaan sejak dini.
Museum ini telah dilengkapi 2 menara, sebuah monument, jalan setapak, dan air mancur. Pada bagian deck dasar kapal terdapat ruang ABK yang masih utuh seperti saat kapal ini beroperasi. Hal yang paling unik dari kapal ini terdapat teropong besar di lantai atas kapal yang dapat digunakan ketika pengunjung memasukan koin 500 rupiah. Melalui teropong tersebut, pengunjung dapat melihat seluruh kota Banda Aceh dengan sangat indah.
Museum PLTD Apung dapat dikunjungi pukul 09.00 – 17.30 WIB, dengan jam istirahat dari pukul 12.00 – 14.00 WIB. Adapun biaya untuk masuk ke dalam lingkungan museum ini adalah seikhlasnya, disediakan kotak amal didepan pintu masuk yang nantinya seluruh uang yang terkumpul diserahkan kepada pengelola masjid Punge Blang Cut untuk proses pembangunan masjid.
Demikianlah Museum PLTD Apung dengan segala kisah, cerita dan sejarahnya. Keberadaanya telah memberikan gambaran kepada generasi Aceh selanjutnya tentang kengerian gelombang tsunami yang pernah terjadi di tanah negeri berikut dampak yang terjadi. Semoga saja, Museum PLTD Apung dapat memberikan pelajaran penting bagaimana menghargai alam, meminimalisir dampak bencana, berikut pola penanganannya.
Penulis: Boim