Monday, April 29, 2024

Pilkada Serentak 2024, Ini Kewenangan Panwaslih Aceh dalam Pilkada

NUKILAN.id | Banda Aceh – Tahun 2024 adalah tahunnya pesta demokrasi bagi rakyat Indonesia. Di tahun ini pula terjadi momentum transisi kepemimpinan baik di tingkat nasional maupun lokal. Setelah rakyat Indonesia berbondong bondong pada 14 Februari 2024 lalu ke TPS dalam rangka memiliIh Presiden dan Wakil Presiden, serta parlemen di tingkat nasional dan juga lokal.

Pada 27 November 2024 mendatang rakyat akan kembali mengunjungi TPS untuk memilih kepala daerah. Di tanggal tersebut, Indonesia akan menyelenggarakan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak untuk memilih Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati serta Walikota dan Wakil Walikota untuk masa jabatan 2024-2029.

Sesuai Peraturan KPU (PKPU) Nomor 2 Tahun 2024 Tentang Tahapan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota Tahun 2024, berikut jadwal tahapan Pilkada serentak :

  • Dimulai 26 Januari 2024 berupa perencanaan program dan anggaran.
  • Dilanjutkan penyusunan peraturan penyelenggaraan pemilihan, 18 November 2024.
  • Kemudian Pembentukan PPK, PPS dan KPPS diagendakan 17 April s.d. 5 November 2024.
  • Lalu Pemberitahuan dan pendaftaran pemantau pemilihan 27 Februari s.d. 16 November 2024. Penyerahan daftar penduduk potensial pemilih 24 April s.d 31 Mei 2024.
  • Pemutakhiran dan penyusunan daftar pemilihan diagendakan 31 Mei s.d. 23 September 2024.
  • Tahapan penyelenggaraan diawali dengan pemenuhan persyaratan dukungan pasangan calon perseorangan 5 Mei s.d. 19 Agustus 2024, pengumuman pendaftaran pasangan calon 24 s.d. 26 Agustus 2024, pendaftaran pasangan calon 27 s.d. 29 Agustus 2024, penelitian persyaratan calon 27 Agustus s.d. 21 September 2024.
  • Penetapan pasangan calon 22 September 2024. Pelaksanaan kampanye 25 September s.d. 23 November 2024 dan pelaksanaan pemungutan suara 27 November 2024.
  • Dilanjutkan penghitungan suara dan rekapitulasi hasil penghitungan suara 27 November s.d. 16 Desember 2024.

Yang menarik untuk konteks Aceh, adalah keberadaan Panwaslih Aceh yang dibentuk oleh DPRA untuk tingkat Provinsi dan Panwaslih Kabupaten/Kota yang dibentuk oleh DPRK.  Dimana Panwaslih Aceh dan Panwaslih Kab/Kota memiliki kewenangan untuk mengawasi tahapan Pilkada.

Bila di wilayah lain di Indonesia Pengawas Pemilu dan Pilkada adalah Bawaslu Provinsi dan Bawaslu Kab/Kota, maka di Aceh yang menjadi Pengawas adalah Panwaslih Aceh dan Panwaslih Kab Kota. Sedangkan eksistensi Panwaslih Provinsi Aceh dan Panwaslih Kab/Kota yang dibentuk oleh Bawaslu RI hanyalah berwenang dalam pengawasan Tahapan Pemilu, minus Pilkada.

Lantas bagaimana ketentuannya?

Berbeda halnya dengan lembaga penyelenggara pemilu di daerah lainnya, dasar hukum lembaga pemilu di Aceh selain diatur dalam UU Pemilu, juga diatur dalam undang- undang otonomi khusus daerah tersebut, yakni Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA).

Dalam ketentuan UUPA pada Pasal 60, disebut pada Pasal 1 Panitia Pengawas Pemilihan Aceh dan kabupaten/kota dibentuk oleh panitia pengawas tingkat nasional dan bersifat ad hoc. Kemudian pada pasal 3 menyebut anggota Panwaslih Aceh diusulkan oleh DPRA/DPRK dan pada pasal 4 diatur mengenai masa kerja yang berakhir 3 bulan setelah pelantikan kepala daerah.

Pada Qanun Aceh No. 6/2016 yang merupakan turunan dari UU 11/2006 tentang Pemerintahan Aceh. Keberadaan Qanun ini mempertegas posisi Bawaslu Aceh dan Panwaslih Aceh sebagai dua lembaga pengawas Pemilu. Bawaslu mengawasi rezin Pemilu Presiden/Wakil Presiden,DPR RI, DPD RI, DPRA, dan DPR Kabupaten/Kota, sedangkan Panwaslih mengawasi tahapan penyelenggaraan Pemilukada Provinsi di Provinsi Aceh.

Menariknya, paska disahkan Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2018 tentang Perubahan Atas Qanun Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2016 tentang Pemilihan Umum dan Pemilihan di Aceh, posisi Panwaslih Pilkada Aceh bukan lagi sebagai lembaga ad hoc, melainkan sebagai lembaga permanen yang bertugas mengawasipelaksanaan pemilihan kepala daerah di Aceh. Hal itu diatur dalam Pasal 36 ayat 2 Qanun Aceh nomor 6 Tahun 2018.

Dilansir dari laman Bawaslu RI, Panwaslih Provinsi Aceh dalam melaksanakan tugas pengawasan menggunakan UU Pemilu sebagai landasan hukum untuk bekerja mengawasi pelaksanaan Pemilu di Aceh.  Sementara Panwaslih Pilkada Aceh menggunakan UU Pilkada sebagai sumber rujukan dalam bekerja mengawasi pelaksanaan Pilkada di Aceh.

Akibat perbedaan rujukan landasan hukum ini, maka kewenangan Panwaslih Provinsi Aceh dengan Panwaslih Pilkada Aceh juga banyak berbeda.

Di antara perbedaan yang ada adalah soal objek pelanggaran administrasi yang masuk ke dalam kategori Terstruktur Sistematis dan Masif (TSM).   Untuk Panwaslih, semua jenis pelanggaran bisa masuk ke dalam kategori TSM jika memang memenuhi kualifikasi TSM. Penanganannya bisa dilakukan melalui ajudikasi dengan putusannya bisa mendiskualifikasi perserta Pemilu.

Sementara untuk Panwaslih Pilkada, hanya ada satu pelanggaran yang masuk ke dalam kualifikasi TSM, yaitu pelanggaran money politic atau politik uang. Penanganannya bisa dilakukan melalui ajudikasi dengan putusannya bisa mendiskualifikasi perserta Pilkada.

Hal ini sebagaimana disebut di dalam Peraturan Bawaslu Nomor 9 Tahun 2020 Pasal 4 yang berbunyi sebagai berikut:

(1) Objek penanganan Pelanggaran Administrasi Pemilihan TSM sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 merupakan perbuatan calon berupa menjanjikan dan/atau memberikan uang atau materi lainnya untuk memengaruhi penyelenggara Pemilihan dan/atau Pemilih yang terjadi secara terstruktur, sistematis, dan masif.

(2) Terstruktur, sistematis, dan masif dalam Pelanggaran Administrasi Pemilihan TSM sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:

  1. kecurangan yang dilakukan oleh aparat struktural, baik aparat pemerintah maupun penyelenggara Pemilihan secara kolektif atau secara bersama-sama;
  2. pelanggaran yang direncanakan secara matang, tersusun, bahkan sangat rapi; dan
  3. dampak pelanggaran yang sangat luas pengaruhnya terhadap hasil Pemilihan bukan hanya sebagian-sebagian

Berikut tugas Panwaslih Pilkada Aceh dalam Pilkada sebagaimana diatur dalam Pasal 40 Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2018.

  1. mengawasi seluruh tahapan penyelenggaraan Pemilu dan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur di Aceh;
  2. menerima laporan dugaan pelanggaran terhadap pelaksanaan peraturan perundang-undangan mengenai Pemilu dan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur;
  3. menyelesaikan temuan dan/ atau laporan sengketa penyelenggaraan Pemilu dan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur yang tidak mengandung unsur pidana;
  4. menyampaikan temuan dan/ atau laporan kepada KIP Aceh untuk ditindaklanjuti;
  5. meneruskan temuan dan/atau laporan yang bukan kewenangannya kepada instansi yang berwenang;
  6. meneruskan temuan dan/ atau laporan pelanggaran yang mengandung tindak pidana Pemilu dan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur kepada Penyidik Polri;
  7. menyampaikan laporan kepada Bawaslu sebagai dasar untuk mengeluarkan rekomendasi Bawaslu yang berkaitan dengan adanya dugaan tindakan yang mengakibatkan terganggunya tahapan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubemur di Aceh;
  8. mengawasi pelaksanaan tindak lanjut rekomendasi Bawaslu tentang pengenaan sanksi kepada anggota KIP Aceh, yang terbukti melakukan tindakan yang mengakibatkan terganggunya tahapan penyelenggaraan Pemilu dan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur;
  9. mengawasi pelaksanaan sosialisasi penyelenggaraan Pemilu dan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur;
  10. memberikan rekomendasi kepada KPU untuk menonaktifkan sementara dan/ atau mengenakan sanksi administratif atas pelanggaran sebagaimana dimaksud pada huruf f; dan
  11. melaksanakan tugas lain dari Bawaslu dan/atau yang diatur dalam peraturan perundang-undangan

Menyangkut pembiayaan untuk pelaksanaan Pilkada, termasuk dalam hal ini biaya honorarium dan operasional Panwaslih Pilkada Aceh, UUPA hanya mengatur secara global bahwa maka segala biaya pelaksanaan Pilkada Aceh dibebankan kepada APBA. Sedangkan untuk pembiayaan Pilkada Bupati dan Wakil Bupati, Walikota dan Wakil Walikota dibebankan pada APBA dan APBK. Hal tersebut diatur dalam Pasal 65 ayat (3) dan ayat (4).

Pasal 65 ayat (3) UU 11 Tahun 2006

Biaya untuk pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur dibebankan pada APBA.

Pasal 65 ayat (4) UU 11 Tahun 2006

Biaya untuk pemilihan bupati/wakil bupati, dan walikota/wakil walikota dibebankan pada APBK dan APBA. 

Penulis: AN

spot_img
- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img

Must Read

- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img

Related News

- Advertisement -spot_img