NUKILAN.id | Feature – Di ujung barat Nusantara, Aceh berdiri dengan kebanggaan yang sunyi. Ia menyimpan kekayaan yang tak hanya berupa alam yang megah, tetapi juga jejak-jejak spiritual yang mendalam. Negeri ini adalah tempat di mana laut dan daratan bertemu, di mana iman dan tradisi berpelukan. Di sini, wisata religi bukan hanya perjalanan fisik, tetapi sebuah ziarah hati, menapaki jejak keagungan masa lalu yang terus mengilhami hingga kini.
Di tengah kota Banda Aceh, Masjid Raya Baiturrahman menjulang dengan anggun. Kubah hitamnya yang megah tampak seperti mahkota yang melingkari langit biru, sementara menara-menaranya berdiri tegas, mengingatkan pada keagungan Sultan Iskandar Muda yang mendirikannya di abad ke-17.
Pagi itu, sinar matahari lembut menyentuh dinding marmer putih masjid. Aku melangkah masuk, melepas alas kaki dan merasakan dinginnya lantai yang seolah mengalirkan kedamaian. Dalam hening, aku memandang ukiran kaligrafi yang menghiasi dindingnya. Setiap lengkungan huruf tampak seperti doa yang membeku dalam keindahan.
Seorang penjaga masjid, Pak Rahman, mendekat dengan senyum ramah. Ia bercerita tentang peran masjid ini selama bencana tsunami 2004. “Masjid ini tetap berdiri kokoh, menjadi tempat berlindung bagi ribuan jiwa. Ia adalah simbol keteguhan iman kami,” katanya.
Di halaman masjid, ribuan burung merpati beterbangan, menciptakan pemandangan yang hampir magis. Di tempat ini, aku merasakan hubungan mendalam antara manusia, Tuhan, dan alam semesta.
Ziarah ke Makam Syiah Kuala
Perjalanan spiritual berlanjut ke makam Syiah Kuala, seorang ulama besar yang dikenang karena ilmunya yang mendalam dan kesalehannya. Makam ini terletak di dekat muara sungai, dikelilingi pohon-pohon besar yang meneduhkan.
Angin laut membawa aroma garam yang bercampur dengan harumnya bunga-bunga tabur di sekitar makam. Di sini, suasana begitu tenang, seperti waktu melambat untuk memberi ruang pada renungan.
Seorang ziarah wanita tua tampak khusyuk membaca doa, bibirnya bergerak pelan, seperti berbicara langsung kepada alam. Aku ikut berlutut, merasakan kedamaian yang meresap hingga ke tulang.
Pak Hamid, seorang penjaga makam, menjelaskan pentingnya Syiah Kuala dalam menyebarkan ajaran Islam di Aceh. “Beliau bukan hanya seorang ulama, tapi juga seorang pendidik yang mendirikan banyak pesantren,” katanya dengan nada hormat.
Makam ini bukan hanya tempat beristirahat seorang tokoh, tetapi juga pusat spiritual yang memancarkan hikmah bagi siapa saja yang datang.
Keindahan Tradisi di Dayah (Pesantren)
Di Aceh, tradisi keislaman hidup dengan subur di pesantren-pesantren yang disebut dayah. Aku berkunjung ke salah satu dayah tertua di Aceh, yang terletak di pedalaman Bireuen. Dayah ini berdiri di tengah hamparan hijau sawah dan pepohonan kelapa, menciptakan suasana yang penuh ketenangan.
Para santri, dengan baju koko putih dan sarung, tampak duduk melingkar, mendengarkan seorang ustaz yang menjelaskan kitab kuning. Suara mereka bergema, melafalkan ayat-ayat dengan khidmat.
Bu Fatimah, seorang ibu pengelola dapur dayah, menyambutku dengan teh manis dan senyum hangat. “Di sini, bukan hanya ilmu agama yang diajarkan, tapi juga tentang bagaimana menjalani hidup dengan sederhana dan bersyukur,” katanya sambil mengaduk panci besar berisi gulai.
Tradisi di dayah mengajarkan bahwa iman adalah perjalanan yang terus-menerus. Dan di tempat seperti ini, aku menyadari bahwa belajar bukan hanya tentang memahami teks, tetapi juga tentang menjalani nilai-nilainya dalam keseharian.
Wisata ke Pulau Weh: Cahaya yang Menuntun
Di Pulau Weh, aku menemukan bentuk lain dari spiritualitas—keheningan alam. Pulau ini, meski terkenal sebagai surga bawah laut, juga menyimpan keindahan religius yang unik.
Di puncak bukit, sebuah masjid kecil berdiri dengan pemandangan langsung ke laut lepas. Dari sini, aku bisa melihat hamparan biru yang seolah tiada batas. Angin membawa suara azan dari pengeras suara masjid, melantun lembut di antara debur ombak.
“Di tempat ini, kita bisa merenung tentang kebesaran Allah,” kata Pak Zainal, seorang nelayan setempat yang menemani perjalanan.
Di sisi lain pulau, aku mengunjungi sebuah kompleks makam yang didedikasikan untuk para ulama dan pelaut yang pernah singgah di Pulau Weh. Makam-makam tua ini tampak sederhana, namun penuh aura khidmat.
Kearifan Lokal dalam Tradisi Adat
Aceh juga menyimpan tradisi adat yang erat kaitannya dengan nilai-nilai keislaman. Salah satunya adalah peusijuk, sebuah upacara doa yang dilakukan untuk memohon berkah dalam berbagai acara, seperti pernikahan, kelahiran, atau memulai perjalanan.
Aku berkesempatan menyaksikan upacara peusijuk di sebuah desa kecil di Aceh Besar. Seorang tetua adat memercikkan air yang telah didoakan ke kepala seorang pemuda yang akan berangkat merantau. Tindakan itu tampak sederhana, tetapi sarat makna.
“Ini adalah doa, harapan agar perjalanan diberkahi dan dilindungi,” ujar Bu Nafsiah, seorang ibu yang hadir dalam acara tersebut.
Tradisi seperti peusijuk menunjukkan bagaimana Islam telah menyatu dengan budaya lokal, menciptakan identitas unik yang hanya dimiliki Aceh.
Harapan untuk Masa Depan Wisata Religi
Meski kaya akan potensi, wisata religi di Aceh masih menghadapi tantangan. Infrastruktur yang belum sepenuhnya memadai, serta kurangnya promosi menjadi kendala dalam menarik wisatawan lebih banyak.
Namun, ada harapan besar. Pemerintah dan masyarakat lokal mulai bekerja sama untuk melestarikan situs-situs religius. Program edukasi dan festival budaya Islami diadakan untuk memperkenalkan warisan spiritual Aceh kepada dunia.
“Wisata religi bukan hanya tentang datang dan melihat. Ini tentang merasakan, belajar, dan mengambil hikmah,” kata Pak Rahman, penjaga Masjid Raya Baiturrahman.
Wisata religi di Aceh adalah lebih dari sekadar perjalanan. Ia adalah ziarah jiwa, sebuah upaya untuk menyentuh kebesaran yang lebih besar dari diri kita sendiri. Dari megahnya Masjid Raya Baiturrahman hingga khidmatnya makam Syiah Kuala, dari tradisi di dayah hingga keheningan Pulau Weh, semuanya memberikan inspirasi mendalam.
Di Aceh, iman bukan hanya sesuatu yang dirasakan, tetapi sesuatu yang hidup dalam setiap sudut tempat ini. Dan bagi siapa pun yang datang, mereka akan pulang dengan hati yang dipenuhi kedamaian, seperti membawa sepotong surga dari tanah Serambi Mekkah.