Persoalan Hak Otonomi Aceh: Kebebasan Lokal vs Kendali Sentral

Share

NUKILAN.id | Opini – Sejak ditandatanganinya MoU Helsinki pada tahun 2005, harapan akan era baru bagi Aceh telah memunculkan optimisme. Namun, sinisme muncul ketika Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh disahkan oleh DPR RI hanya setahun kemudian. Sebuah pernyataan yang menggugah dan menimbulkan keraguan akan jaminan kebebasan lokal sebagaimana yang dijanjikan dalam MoU.

Dalam MoU Helsinki, disepakati bahwa Pemerintah Aceh akan memiliki kewenangan yang luas dalam sektor publik, sedangkan Pemerintah Pusat hanya akan berperan dalam bidang-bidang terbatas seperti hubungan luar negeri dan pertahanan. Namun, realitas yang terpampang dalam Undang-undang tersebut justru mengecewakan. Pemerintah Pusat dengan sengaja memperluas wewenangnya dengan menambahkan diksi “URUSAN PEMERINTAHAN YANG BERSIFAT NASIONAL.” Langkah ini tidak hanya mereduksi otonomi Aceh, tetapi juga membuka pintu bagi intervensi yang tidak terbatas dari pemerintah pusat.

Penambahan wewenang ini bukan sekadar perubahan administratif, tetapi juga melibatkan aspek fundamental dalam tata kelola pemerintahan. Aceh yang seharusnya mendapat keleluasaan dalam mengatur nasibnya sendiri, kini terjebak dalam cengkraman kendali sentral yang semakin kuat.

Pertanyaan mendasar pun muncul: apakah konsep otonomi sebenarnya hanya sekadar slogan kosong, sementara kendali pemerintah pusat terus tumbuh subur? Apakah Aceh hanya dipandang sebagai bagian dari peta politik nasional tanpa memperhitungkan aspirasi lokal yang terus berkobar?

Tidak dapat dipungkiri bahwa keberadaan Aceh memiliki karakteristik yang unik. Sejarah panjang perjuangan, budaya yang kaya, dan aspirasi masyarakat yang kuat, semuanya menuntut perlakuan yang istimewa. Namun, Undang-undang yang dihasilkan tampaknya melupakan hal tersebut dan lebih cenderung memperkuat kontrol dari pusat.

Salah satu dampak yang paling mencolok dari penambahan wewenang ini adalah intervensi langsung pemerintah pusat dalam perencanaan dan kebijakan pembangunan. Aceh, yang seharusnya menjadi lokus pengambilan keputusan, kini diposisikan sebagai subjek yang harus tunduk pada keputusan dari Jakarta.

Pertanyaan lain yang muncul adalah, apakah Aceh sebenarnya dilihat sebagai mitra dalam pembangunan nasional, atau hanya sebagai wilayah perbatasan yang harus diatur dan dikendalikan? Apakah hak untuk menentukan nasib sendiri hanya sebatas kata-kata tanpa substansi?

Pada akhirnya, apa yang terjadi di Aceh bukanlah sekadar masalah lokal, tetapi juga mencerminkan esensi dari demokrasi dan otonomi di Indonesia secara keseluruhan. Apakah negara ini benar-benar mampu memberikan ruang bagi kebebasan lokal tanpa takut akan potensi pecah belah, ataukah kontrol sentral terus menjadi prioritas utama?

Ini bukanlah sekadar tentang Aceh. Ini tentang prinsip-prinsip dasar demokrasi yang harus dijunjung tinggi. Kebebasan lokal bukanlah ancaman, tetapi justru adalah fondasi dari sebuah negara yang inklusif dan berdaulat. Menyempitkan ruang bagi kebebasan Aceh hanya akan memperkuat ketidaksetaraan dan ketidakadilan yang terus merajalela.

Jika kita membiarkan Aceh tenggelam dalam kendali sentral, kita tidak hanya mengkhianati harapan masyarakat Aceh, tetapi juga mengkhianati nilai-nilai demokrasi yang seharusnya kita junjung bersama. Saatnya bagi kita untuk menghadirkan suara mereka dalam proses pembangunan, bukan sekadar menjadikan mereka sebagai objek dari kebijakan yang dibuat di ibu kota. Aceh bukan hanya bagian dari peta politik, tetapi juga bagian dari kisah demokrasi Indonesia yang sejati.

Penulis: Akil Rahmatillah (Alumni Ilmu Pemerintahan USK)

spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img

Read more

Local News