*Oleh: Muhammad Aditia Rizki
Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Permendikbudristek) nomor 30 tahun 2021 tentang pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di Perguruan Tinggi. Peraturan tersebut menjadi sebuah solusi tentang maraknya kejadian kekerasan seksual di Perguruan Tinggi yang menimpa mahasiswi (perempuan) akan tetapi masih banyak masalah pro dan kontra mengenal isi dari Permendikbud nomor 30 tahun 2021 yang mana dalam pasal 5 ayat 3 yakni persetujuan korban yang dimaksud dalam ayat 2 huruf b, huruf g huruf h, huruf s , huruf m.
Apabila si korban setuju maka hal ini bisa dikatakan sebuah kegiatan berzina yang mana hal ini sangat dilarang dan seharusnya Perguruan Tinggi harus memiliki cara untuk pencegahan yang mana sebuah tertuang dalan pasal 23 ayat 1 yakni dalam pelaksanaan dan pencegahan kekerasan seksi, pemimpin Perguruan Tinggi membentuk satuan tugas di tingkat perguruan tinggi yang 2 bunyi satuan tugas sebagaimana mestinya yang dimaksud pada ayat- i dibentuk pertama kali melalui panitia seleksi sehingga apabila terdapat petugas dapat mengurangi jenis kejahatan kekerasan seksi di Perguruan Tinggi.
Dalam agama manapun hal yang mengenai kekerasan seksual di Perguruan Tinggi tentunya dilarang dan bisa dikatakan sebagai tindakan yang paling keji dan buruk dalam pandangan syariat dalam Al-Qur’an surat Al-Isra:32 menjelaskan mengenai perbuatan zina bahwa Perbuatan tersebut sangat dilarang dalam agama Islam.
Karena hal itu merupakan Perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk, seharusnya Kemendikbud Ristek juga harus memperhatikan dari segi enam nilai agama yang mana nilai-nilai agama mampu untuk mencegah dan mengatasinya yang namanya kekerasan seksual di Perguruan Tinggi.
Dalam Permendikbudristek nomor 30 tahun 2021 juga dijelaskan bahwa dalam hal tersebut ingin menciptakan Perguruan Tinggi yang bebas akan hal kekerasan seksual tersebut juga sejalan dengan pandangan agama yang larangan adanya kekerasan seksual karena hal tersebut sangat dikecam oleh agama manapun.
Kaitannya dengan Hak Asasi Manusia (HAM) apabila seseorang mengalami kekerasan seksual orang tersebut memiliki HAM untuknya dapat perlindungan sebuah dalam Permendikbudristek pasal 12 perlindungannya yang dimaksud dalam pasal 10 huruf b diberikan korban atau saksi yang berstatus sebagai mahasiswa, pendidik, tenaga kependidikan dan warga kampus.
Perlindungan untuk korban atau saksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa jaminan perlindungan dari ancaman fisik dan nonfisik dari pelaku atau pesta lain atau perulangan kekerasan seksual dalam bentuk menfasilitasi pelaporan terjadinya ancaman fisik dan nonfisik untuk aparat penegak hukum, dengan dikeluarkannya Permendikbudristek nomor 30 tahun 2021 dalam sudut pandang sangat tepat karena maraknya kasus kekerasan seksual yang terjadi diberbagai kampus Indonesia.
Hal ini berhubungan dengan Undang-undang Republik Indonesia nomor 39 tahun 1999 pasal 29 yang bunyi setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat dan hak misalnya dalam hal ini dirasa mampu memberikan rasa aman, nyaman untuk mahasiswi pada saat dilaksanakannya pembelajaran walaupun Permendikbudristek nomor 30 tahun 2021 mengalami pro dan kontra kiranya hal itu perlu diterapkan sehingga bisa mengurangi kekerasan seksual di lingkungan Perguruan Tinggi.
Dalam pandangan sosial tentunya kejahatan kekerasan seksual di perguruan tinggi sangat menghawatirkan sedangkan kekerasan seksual sendiri ialah perilaku yang melanggar norma kesusilaan dan kesopanan kejahatan tersebut merupakan kejahatan yang dilakukan oleh orang yang tidak memilki akal pikiran untuk dampak selanjutnya.
Bagaimana tidak, masyarakat juga akan khawatir tentang maraknya kejadian tesebut apalagi mereka yang mempunyai anak perempuan seakan-akan was-was yang mana dalam pembelajaran mereka mendapat kenyamanan, keamanan malah mendapat perlakuan yang tidak mengenakan, hal tersebut bisa membuat citra Universitas tersebut tercoreng dimata masyarakat Indonesia sehingga menjadi tidak baik.
Harapannya Permendikbudristek 30 tahun 2021 perlu diterapkan karena melihat banyak kasus kekerasan seksual di perguruan tinggi yang begitu banyak contohnya di Universitas Riau (Unri) yang mana bukannya mendapatkan pembelajaran yang nyaman malah mendapatkan perlakuan yang tidak mengenakan, walaupun permendikbud 30 tahun 2021 mengalami pro dan kontrak akan tetapi hal itu perlu untuk digunakan dan Kemendikbud Ristek juga perlu masukkan dari banyak pihak sehingga mendapat persetujuan dari banyak pihak hal tersebut perlu untuk diterapkan sehingga bisa mengurangi tingkat kekerasan seksual di Perguruan Tinggi.
Penulis adalah Mahasiswa Ilmu Administrasi Negara Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Islam Negeri (UIN) Ar-Raniry Banda Aceh