Nukilan.id – Hurriah Foundation menyelenggarakan dialog khusus tentang kepastian hukum qanun bendera dan lambang Aceh, pada Jumat (14/1) di Banda Aceh.
Hadir sebagai pembicara adalah Dahlan Jamaluddin (Ketua DPR Aceh). Dr Otto Syamssuddin Ishak (Sosiolog Aceh) dan Kurniawan SH, M.LL (Akademisi Tata Negera Universitas Syiah Kuala).
“Melihat situasi seperti ini, kami menawarkan kepada stakeholder terutama Kemendagri dan Pemerintah Aceh untuk duduk kembali melakukan dialog, supaya ada kepastian hukum dan politik mengenai implimentasi Qanun Nomor 3 Tahun 2013. Dengan melakukan dialog saya percaya kemacetan apapun akan melahirkan hasil, dan ini penting untuk membangun semangat kepercayaan masyarakat Aceh,” ujar Dahlan Jamaluddin selaku Ketua DPR Aceh.
Menurutnya, qanun Nomor 3 Tahun 2013 tentang bendera dan Lambang Aceh, lahirnya telah sesuai dengan prosedur hukum dan telah melewati serangkai konsultasi dengan Kemendagri sebelum dilembar daerahkan pada waktu Gubernur Zaini Abdullah. Baru kemudian dilakukan cooling down. Supaya qanun nomor 3 tahun 2013 tentang Bendera dan Lambang itu tidak di implimentasikan sementara waktu.
Dahlan Jamaluddin, mengajak semua pihak untuk berdialog. Kalau dialog ini tidak dilakukan kita khwatir akan dimanfaatkan untuk kepentingan tertentu oleh pihak-pihak yang tidak tahu menahu semangat perdamaian Aceh ini. Tentu akan berdampak bagi pembangunan Aceh secara umumnya. Jadi jalan keluarnya untuk kepastian hukum implimentasi qanun bendera dan lambang Aceh harus segera dilakukan dialog.
“Saya melihat ruang eksekutif review tidak ada, yang ada adalah ruang legislative review. Tapi perlu saya sampaikan bahwa sebelumnya semua fraksi setuju dengan qanun ini untuk dilakukan pada masa itu. Kalaupun ada ruang legislative review, mari kita dialog untuk percepatan pembangunan Aceh,” tutup Dahlan.
Sementara itu, Kurniawan menyorot tentang keabsahan qanun yang telah dilakukan sesuai dengan hukum tata negara Republik Indonesia. Karena semua aturan harus merujuk kepada undang-undang diatasnya.
“Sebuah qanun, bila telah disahkan oleh DPRA dan tahapan konsultasi dengan Kemendagri telah dilakukan, apabila setelah 60 hari setelah disahkan tidak dibatalkan dengan ketepan Presiden. Maka secara hukum sah berlaku qanun nomor 3 Tahun 2003 tentang bendera dan lambang Aceh. Itu Konsekuasi jika tidak dilakuan review oleh Kemendagri maka sah pemberlakuan sebuah qanun atau perda. Pembatalan sebuah qanun bukan kewenangan Menteri Dalam Nengeri. Tapi presiden yang harus melakukannya dengan hasil konsultasi dari Kemendagri.” Ujar Kurniawan, Dosen Tata Negara Universita Syiah Kuala.
Menurutnya, kalau sudah menyangkut implimentasinya itu sudah wilayah politik. Dan secara politik ada peluang dilakukan review melalu legislative reviawe. Sedangkan review melalu eksekutif sudah tidak dibenarkan lagi saat ini. MA tidak memiliki kewenagan menguji qanun. Yang perlu dilakukan sekarang supaya qanun ini berlaku adalah mendorong Legislatif dan eksekutif di Aceh untuk percepatan dialog dengan Pemerintah Pusat dalam hal ini Presiden Jokowi, atau dorong menjadi legislative review di level DPRA.
Sementara Dr Otto Syamsuddin Ishak menyinggul soal kompetensi dan perlunya diplomati politik supaya tidak terjad kemacetan turunan UUPA. “Saya melihat masalah utama di Aceh saat ini, bukan soal kompetensi tapi yang menjadi masalah adalah soal diplomasi dalam dimensi politik yang perlu ditingkatkan lagi. Akibatnya sehingga macet semua turunan UUPA hingga kemacetan implimentasi qanun bendera ini. Kalau misalnya review legal sudah terkunci, tentu qanun ini dapat diselesaikan di meja politik.”Ujar Mantan ketua KOMNAS HAM RI ini.
Sebagaimana diketahui, kemelut hukum terus terjadi menyangkut pemberlakuan qanun nomor 3 tahun 2013 ini. Makanya diperlukan penyebarluaskan literasi positif bagi semua elemen civil society di Aceh. []