NUKILAN.id | Jakarta – Sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia mencatat Perjanjian Renville sebagai salah satu episode paling memilukan. Perjanjian yang ditandatangani pada 17 Januari 1948 ini merupakan hasil dari perundingan panjang di atas kapal perang USS Renville milik Amerika Serikat, yang berlabuh di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta.
Nukilan.id mencoba menelusuri sejarah perjanjian ini dari berbagai sumber. Latar belakang perjanjian ini berawal dari ketidakpuasan Belanda terhadap hasil Perjanjian Linggarjati. Pada pertengahan 1947, Belanda melancarkan Agresi Militer I dengan tujuan merebut kembali wilayah Indonesia yang telah diakuinya sebelumnya. Untuk meredakan ketegangan internasional, Dewan Keamanan PBB membentuk Komisi Tiga Negara (KTN) sebagai mediator dalam konflik antara Belanda dan Republik Indonesia.
Proses Perundingan di Atas USS Renville
Nama Perjanjian Renville diambil dari nama kapal perang Amerika Serikat, USS Renville, yang menjadi lokasi perundingan. Pada saat itu, kapal tersebut berlabuh di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta. Perundingan dimulai pada 8 Desember 1947, mempertemukan delegasi Republik Indonesia yang dipimpin oleh Perdana Menteri Amir Syarifuddin dengan delegasi Belanda yang diketuai oleh R. Abdulkadir Wijoyoatmojo, seorang tokoh Indonesia yang berpihak pada Belanda. Perundingan ini juga dimediasi oleh Komisi Tiga Negara (KTN) yang terdiri atas Amerika Serikat, Belgia, dan Australia. Meskipun kehadiran KTN diharapkan menjamin netralitas, tekanan politik global, terutama dari Amerika Serikat yang mengutamakan stabilitas di Asia Tenggara, memengaruhi jalannya negosiasi.
Isi Perjanjian yang Menyakitkan
Hasil dari perjanjian ini sangat merugikan Republik Indonesia. Beberapa poin utama yang disepakati antara lain:
- Garis Demarkasi: Ditetapkannya garis demarkasi yang memisahkan wilayah yang dikuasai Belanda dan Republik Indonesia. Wilayah Republik menjadi lebih sempit, hanya mencakup Jawa Tengah, Yogyakarta, dan sebagian kecil Sumatera.
- Pengakuan Wilayah Terbatas: Belanda hanya mengakui wilayah Republik Indonesia yang sangat terbatas.
- Pembentukan Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI): Disetujuinya pembentukan PDRI di Sumatera sebagai antisipasi bila Yogyakarta jatuh ke tangan Belanda.
Dampak yang Mencederai Perjuangan
Perjanjian Renville membawa konsekuensi besar yang menghambat langkah kemerdekaan:
- Penyempitan Wilayah Republik: Wilayah yang diakui semakin kecil, memaksa banyak rakyat hidup di bawah kekuasaan Belanda.
- Morale Rakyat yang Terpuruk: Keputusan yang diambil memengaruhi semangat juang rakyat dan tentara Republik.
- Terpecahnya Kekuatan Nasional: Keberadaan PDRI menciptakan potensi perpecahan dalam pemerintahan dan strategi perjuangan.
Mengapa Indonesia Dirugikan?
Kondisi yang tidak seimbang menjadi faktor utama kerugian Indonesia. Republik Indonesia yang lemah secara militer dan diplomatik menghadapi tekanan besar dari Belanda dan komunitas internasional. Minimnya pengalaman diplomasi delegasi Indonesia juga menjadi kendala. Terlebih lagi, Amerika Serikat dan sekutunya memiliki kepentingan geopolitik yang lebih mementingkan stabilitas regional daripada keadilan untuk Indonesia.
Pelajaran Berharga dari Sejarah
Meskipun penuh luka, Perjanjian Renville menjadi pengingat bahwa diplomasi internasional menuntut kekuatan di meja perundingan yang sebanding dengan kekuatan di medan perang. Pelajaran ini menjadi tonggak penting dalam membangun strategi perjuangan dan diplomasi yang lebih kokoh di masa depan.
Perjanjian Renville menandai perjalanan panjang bangsa Indonesia menuju kedaulatan penuh, yang baru benar-benar terwujud dengan pengakuan kedaulatan pada 1949. Semangat juang yang tak padam meski dikhianati menjadi warisan abadi bagi generasi penerus yang terus memperjuangkan kemerdekaan sejati. (XRQ)
Reporter: Akil