NUKILAN.id | Banda Aceh – Tanggal 21 April 1944 menjadi salah satu tonggak bersejarah dalam perjalanan hak-hak sipil di Prancis. Untuk pertama kalinya, perempuan di negeri itu secara resmi diberikan hak untuk memilih dan dipilih dalam pemilihan umum, menyusul dekret yang dikeluarkan oleh Pemerintah Sementara Republik Prancis di bawah pimpinan Jenderal Charles de Gaulle.
Langkah ini, yang dituangkan dalam Ordonnance d’Alger, berbunyi tegas:
“Les femmes sont électrices et éligibles dans les mêmes conditions que les hommes”
(“Perempuan memiliki hak memilih dan dipilih dalam kondisi yang sama dengan laki-laki”).
Meski dibandingkan dengan negara Eropa lain keputusan ini tergolong terlambat, dekret tersebut menjadi puncak dari perjuangan panjang perempuan Prancis, yang kontribusinya selama Perang Dunia II mengubah tatanan sosial dan stereotip gender yang telah lama mengakar.
Perlawanan di Tengah Pendudukan
Dilansir Nukilan.id dari artikel Routledge yang berjudul Women and the Second World War in France (1999), Sejarawan Hanna Diamond menyebutkan bahwa Perang Dunia II menciptakan “paradoks pembebasan” bagi perempuan Prancis. Di tengah pendudukan Nazi, banyak perempuan yang mengambil peran publik untuk pertama kalinya, baik sebagai pejuang Résistance maupun sebagai kepala keluarga, menggantikan suami yang ditahan atau dideportasi.
Diamond mencatat, sekitar 70 persen tenaga kerja di sektor industri perang Prancis diisi oleh perempuan. Situasi ini tidak hanya meruntuhkan peran domestik tradisional, tetapi juga membuktikan kapasitas perempuan dalam menangani tugas-tugas vital negara.
Christine Bard, dalam karyanya Les femmes dans la société française au XXe siècle (2003), menegaskan bahwa pengalaman ini menghancurkan argumen klasik bahwa perempuan “tidak cocok” untuk urusan politik. Bahkan, kelompok Résistance seperti Comité Français de Libération Nationale (CFLN) aktif memperjuangkan hak pilih perempuan sebagai bagian dari rekonstruksi demokrasi pascaperang.
Dekret Bukan Hadiah
Pengakuan resmi pada 21 April 1944 bukanlah hadiah politik, melainkan konsekuensi logis dari kenyataan yang sudah berlangsung di lapangan. Banyak perempuan, seperti Lucie Aubrac dan Marie-Madeleine Fourcade, sudah memimpin jaringan-jaringan Résistance, mengambil keputusan-keputusan strategis yang vital bagi kelangsungan perjuangan melawan pendudukan Jerman.
Diamond (1999) menekankan, keputusan pemerintah sementara untuk memberikan hak pilih adalah bentuk pengakuan terhadap peran aktif perempuan, bukan sekadar kebijakan simbolis.
Tantangan di Balik Kemenangan
Namun, seperti diungkapkan oleh Bard (2003) dan Diamond (1999), jalan menuju kesetaraan sejati masih panjang. Dalam pemilu pertama yang memungkinkan perempuan untuk berpartisipasi pada tahun 1945, hanya 33 perempuan yang berhasil terpilih menjadi anggota parlemen—sekitar 5 persen dari total kursi yang tersedia.
Bard mencatat, rendahnya angka representasi ini sebagian besar disebabkan oleh minimnya dukungan dari partai politik terhadap calon perempuan, serta norma-norma sosial yang masih kuat mempertahankan peran domestik bagi perempuan.
Selain itu, Diamond menemukan bahwa perempuan yang aktif dalam Résistance sering kali didorong untuk “kembali ke dapur” setelah perang usai, meskipun pengalaman mereka dalam organisasi, logistik, dan kepemimpinan selama masa perang terbukti luar biasa.
Jejak Panjang Menuju Kesetaraan
Peristiwa 21 April 1944 menjadi titik awal penting dalam perjalanan panjang perempuan Prancis untuk meraih hak-hak politik yang setara. Meski tantangan masih menghadang, langkah berani Pemerintah Sementara itu membuka pintu bagi transformasi sosial yang lebih luas di tahun-tahun berikutnya.
Sejarah mencatat, bahwa hak memilih bukan hanya soal surat suara yang dijatuhkan ke kotak pemilu, melainkan juga pengakuan terhadap martabat, kontribusi, dan potensi perempuan dalam membangun bangsa. (xrq)
Reporter: Akil