Nukilan.id – Ulama perempuan bagikan pengalaman dakwah sehari-hari terkait penjagaan lingkungan hidup. Dari menjaga kebersihan, penyeruan penanaman tanaman obat, hingga anjuran menghemat air.
“Dahulu Teungku Inong berjuang melawan penjajahan, tetapi sekarang berjuang melawan kerusakan lingkungan,” jelas Profesor Eka Srimulyani dari UIN Ar-Raniry Banda Aceh kepada puluhan Teungku Inong peserta Workshop Agama dan Penyelamatan Ruang Hidup di Kota Banda Aceh, akhir Februari lalu.
Teungku Inong adalah sebutan yang disematkan kepada para perempuan ulama di Provinsi Aceh. Mereka umumnya memimpin pesantren tradisional (dayah), mengajar Al-Qur’an dan hadis, hingga penceramah, dan biasanya memiliki sejumlah jemaat.
Pelatihan Teungku Inong Aceh tersebut digelar oleh Yayasan HAkA (Hutan, Alam, dan Lingkungan Aceh), lembaga swadaya masyarakat di Aceh yang berfokus pada pelestarian Kawasan Ekosistem Lauser (KEL) dan kesejahteraan sosial masyarakat. Lewat pelatihan ini, para perempuan ulama ini pun saling belajar dan berbagi pengalaman terkait pendekatan agama dalam melihat permasalahan dan solusi terhadap kerusakan alam dan lingkungan hidup di Aceh.
“Kesadaran dan kebutuhan tertinggi terhadap lingkungan hidup dimiliki oleh perempuan. Begitu juga ketika terjadi bencana, perempuanlah yang paling merasakan dampaknya,” jelas Rubama dari HAkA.
Pendekatan ekofeminisme
Ada beberapa target yang ingin dicapai dari pelatihan lingkungan hidup ini, mulai dari sosialisasi penguatan pemahaman ajaran agama tetang penjagaan lingkungan hidup, memetakan kerusakan lingkungan di sekitar, hingga menyediakan ruang belajar bersama bagi perempuan ulama menuju kesiapan menjadi bagian dari ulama perempuan.
Secara bergantian, para Teungku Inong membagikan pengalaman dakwah sehari-hari mereka yang erat kaitannya dengan penjagaan lingkungan hidup. Dari pengajaran tata cara menjaga kebersihan, penyeruan penanaman tanaman obat, hingga anjuran menghemat penggunaan air. Kesemua hal ini dilakukan berlandaskan ajaran yang pernah dianjurkan Nabi Muhammad sejak dahulu. Sehingga, walau sederhana, para ulama perempuan ini mendakwahkan hal tersebut dengan sungguh-sungguh.
Pemahaman tentang keadilan gender dalam misi penjagaan lingkungan hidup inilah yang dibagikan oleh Profesor Eka Srimulyani di hadapan para ulama perempuan tersebut. Dia menjelaskan ekofeminisme sebagai sebuah konsep memandang manusia dan alam semesta sebagai suatu kesatuan yang saling membutuhkan dan saling mendukung.
“Ekofeminisme menawarkan konsep kerja sama, cinta, dan toleransi dalam proses pengelolaan lingkungan, serta etika untuk mewujudkan kesetaraan gender,” ujar profesor perempuan termuda UIN Ar-Raniry tersebut.
Ada kerugian tapi belum terlambat
Rektor Rektor Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Lhokseumawe, Dr. Danial M.Ag., dalam kesempatan yang sama juga menyebutkan kesadaran ekologi (lingkungan hidup) adalah bagian dari keyakinan beragama. Menurutnya, visi Islam adalah mewujudkan kemaslahatan manusia di dunia dan akhirat. Sehingga baginya, merusak lingkungan setara dengan merusak agama.
“Bayangkan berapa banyak nyawa yang hilang dan harta yang lenyap akibat kerusakan lingkungan?” ujar Dr. Danial yang dibalas tatapan nanar dan helaan nafas berat dari balik masker para peserta.
Yayasan HAkA mengestimasi bahwa estimasi kerugian masyarakat Aceh akibat bencana banjir di tahun 2020 adalah sebesar 153 miliar rupiah. Menurut LSM ini, jika kerugian ini dijumlahkan dengan beragam jenis bencana alam lainnya, estimasi kerugian bisa mencapai 290 miliar rupiah.
“Sejauh ini, kami mendata 2.400 titik banjir di Aceh. Adapun ratusan banjir yang terjadi dalam 5 tahun terakhir di Aceh berhubungan erat dengan banyaknya hutan yang hilang dalam 30 tahun terakhir,” jelas Muhammad Fadhil dari HAkA.
Dia menambahkan bahwa setengah dari kawasan hutan Aceh yang terus menghilang adalah wilayah yang memiliki nilai konservasi yang sangat tinggi. Wilayah hutan yang menjadi rumah bagi para satwa dan tumbuhan langka dunia yang terancam punah. Kawasan penting tersebut dikenal dengan sebutan KEL dan tersebar di 13 kabupaten Provinsi Aceh.
Dia juga menyebutkan bahwa data terkini terkait kondisi hutan di Pulau Sumatera melalui teknologi GIS menunjukkan betapa alam Aceh masih sangat rimbun dan indah. Mata air sejuk, udara segar, pertanahan sawah subur, ditambah tiga juta hektar luasan wilayah tutupan hutan, kesemua itu menjadi bukti betapa Aceh memiliki modal kekayaan hutan dan alam yang sangat mahal.
Teungku Nurhayati Ibrahim, ulama perempuan yang mengikuti pelatihan itu mengatakan bahwa segala akibat pasti memiliki sebab. Akar masalah tersebut harus dipelajari dan diatasi, ujarnya. Dia mencontohkan bagaimana keserampangan manusia dalam menebang hutan berakhir pada timbulnya bencana banjir. Dia juga mendeskripsikan bahwa kesadaran dalam perbuatan menjadi aspek penting yang harus dilakukan jika manusia hendak hidup sejahtera dan berselaras laku dengan alam semesta.
“Saya ingin mengambil peran melalui berdakwah tentang kesadaran batiniah kepada seluruh elemen masyarakat agar mereka bisa paham dan sadar akan pentingnya keterjagaan lingkungan. Dimulai dari membangun ekopesantren,” ujar Teungku Nurhayati Ibrahim yang juga memimpin salah satu pesantren tradisional di Aceh. [dw.com]