Nukilan | Jakarta – Pengesahan Revisi Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia atau RUU TNI memicu gelombang kritik dari publik dan kalangan masyarakat sipil. Meski telah disahkan oleh DPR RI dalam rapat paripurna pada Kamis, (20/3/2025), polemik terhadap substansi maupun proses pembentukannya tak kunjung reda. Mahkamah Konstitusi (MK) bahkan sudah memutuskan satu dari 14 gugatan terhadap undang-undang tersebut, dan menolaknya.
Pengambilan keputusan di Parlemen berlangsung cepat. Ketua DPR RI Puan Maharani memimpin rapat paripurna dan menyampaikan pengesahan kepada seluruh anggota yang hadir.
“Kami minta persetujuan fraksi-fraksi terhadap RUU TNI apakah dapat disetujui untuk disahkan menjadi UU? Setuju. Terima kasih,” ucap Puan dalam sidang yang langsung dijawab serempak dengan persetujuan oleh anggota dewan, dikutip Nukilan dari Detik, Kamis (20/3/2025).
Namun, tak lama berselang, sekelompok mahasiswa dari Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) menggugat undang-undang ini ke Mahkamah Konstitusi. Mereka adalah M Arijal Aqil, Nova Auliyanti Faiza, Shanteda Dhiandra, Bisma Halyla Syifa Pramuji, dan Berliana Anggita Putri.
Dalam permohonannya, mereka menilai Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2025 cacat secara formil dan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945. Petitum mereka meminta MK menyatakan UU ini tidak memenuhi ketentuan pembentukan undang-undang dan karena itu tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
Namun, Mahkamah Konstitusi menolak gugatan formil mereka. Dalam sidang pembacaan putusan perkara nomor 83/PUU-XXIII/2025, Ketua MK Suhartoyo menyatakan para pemohon tidak memiliki legal standing atau kedudukan hukum yang cukup.
“Para pemohon tidak dapat menguraikan dengan jelas persoalan pertautan kerugian para pemohon, dengan adanya dugaan persoalan konstitusionalitas dalam proses pembentukan UU 3/2025,” ujar Suhartoyo seperti dikutip dari Tempo, Kamis (26/6/2025).
Meski para pemohon aktif dalam kegiatan sosial dan kampus, hakim menilai mereka gagal membuktikan keterlibatan langsung dalam proses pembentukan UU TNI. Bukti-bukti yang diajukan dinilai tidak cukup menghubungkan mereka dengan kerugian konstitusional yang nyata.
“Pemohon tidak dapat menunjukkan keterlibatan nyata mereka dalam pembentukan Undang-Undang, seperti seminar, diskusi, tulisan pendapat kepada pembentuk UU, dan kegiatan lain,” lanjut Suhartoyo.
Gugatan dari mahasiswa UMS hanyalah satu dari total 14 gugatan yang masuk ke MK terkait UU ini. Suhartoyo menyatakan, ada lima perkara lainnya—yakni perkara nomor 45, 56, 69, 75, dan 81—yang akan dilanjutkan ke tahap sidang pleno mendengarkan keterangan pemerintah, presiden, dan pihak terkait.
Pasal-pasal Kontroversial
Kritik terhadap UU TNI bukan tanpa alasan. Substansi perubahan yang dianggap mengikis prinsip reformasi militer menjadi sorotan utama.
Berdasarkan hasil penelusuran Nukilan, terdapat beberapa pasal dalam UU ini yang dipersoalkan oleh publik. Dalam Pasal 7, dua tugas baru ditambahkan dalam kategori operasi militer selain perang: menanggulangi ancaman siber dan melindungi serta menyelamatkan warga negara serta kepentingan nasional di luar negeri. Dengan demikian, total tugas TNI dalam ranah non-perang kini menjadi 16.
Sementara itu, Pasal 47 memperluas ruang militer aktif di jabatan sipil. Jika sebelumnya hanya 10 posisi jabatan publik yang bisa diisi TNI aktif, kini jumlahnya bertambah menjadi 14. Beberapa lembaga tambahan termasuk Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP), Badan Penanggulangan Bencana, Badan Keamanan Laut, serta Kejaksaan (khusus Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Militer).
Pasal 53 mengubah ketentuan batas usia pensiun prajurit. Pensiun maksimal kini disesuaikan berdasarkan pangkat, Bintara dan tamtama maksimal 55 tahun, Perwira hingga kolonel maksimal 58 tahun, Perwira tinggi bintang 1 maksimal 60 tahun, Bintang 2 maksimal 61 tahun, Bintang 3 maksimal 62 tahun, dan Bintang 4 maksimal 63 tahun, dengan kemungkinan perpanjangan 2 kali oleh Keputusan Presiden.
Tuai Kritik
Amnesty International Indonesia mengeluarkan pernyataan keras terhadap UU ini. Mereka menyebut proses pembentukan RUU TNI dilakukan “ugal-ugalan” dan tidak konstitusional. Organisasi tersebut menyoroti perencanaan revisi yang tidak masuk Prolegnas 2025 secara sah, tidak melalui prosedur carry over, dan mengabaikan prinsip-prinsip akuntabilitas serta partisipasi publik.
Menurut Amnesty, pembentukan UU ini melanggar banyak pasal dalam UUD 1945, termasuk Pasal 1 Ayat (2), Pasal 20, hingga Pasal 28F, serta peraturan internal DPR dan UU tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU P3).
Salah satu poin utama adalah ketertutupan informasi kepada publik. Amnesty menuding Presiden dan DPR sengaja tidak membuka akses draf revisi kepada masyarakat selama proses berlangsung, yang menurut mereka merupakan pelanggaran serius terhadap prinsip negara hukum demokratis.
Di tengah gelombang kritik publik, TNI menyatakan akan menyelidiki siapa aktor di balik gelombang penolakan terhadap revisi UU TNI, termasuk tagar #IndonesiaGelap yang sempat trending di media sosial.
Kapuspen TNI Mayjen TNI Kristomei Sianturi mengatakan, TNI akan menggali lebih jauh mengenai aksi penolakan Revisi UU TNI dan mencari tahu siapa sebenarnya aktor di belakang itu semua. Kristomei menyebut bahwa aksi-aksi tersebut tampaknya digerakkan oleh aktor dengan sokongan modal, dan sengaja diarahkan untuk menyudutkan institusi militer serta pemerintah.
Namun, klaim tersebut dibantah oleh pengelola akun Bareng Warga (@barengwarga), salah satu kanal informasi sipil yang aktif menyuarakan penolakan terhadap revisi ini. Tiga pengelola akun tersebut membantah tuduhan bahwa mereka digerakkan oleh pendanaan atau kekuatan politik tertentu.
“Ketika warga punya platform dan jadi besar setelah diamplifikasi karena banyak warga yang setuju, yang dipikir adalah kami orang bayaran. Yang dipikir adalah kami proksi politik,” ujar salah satu pengelola Bareng Warga yang tak mau dipublikasikan namanya karena alasan keamanan, dikutip dari BBC Indonesia, Jumat (27/6/2025).
Pengesahan UU TNI menambah daftar panjang undang-undang yang disahkan tanpa proses deliberatif yang transparan. Meski gugatan awal ke MK ditolak, masih ada sejumlah perkara yang akan diproses lebih lanjut. Di sisi lain, protes publik belum sepenuhnya mereda.
Situasi ini menunjukkan bahwa ketegangan antara masyarakat sipil dan negara masih sangat hidup dalam diskursus demokrasi Indonesia. Dalam waktu dekat, sorotan publik akan tertuju pada sidang-sidang lanjutan di Mahkamah Konstitusi dan reaksi resmi dari pemerintah dan militer terhadap kritik yang makin luas.
Jika putusan berikutnya tetap mengabaikan substansi gugatan masyarakat, bukan tidak mungkin gelombang ketidakpercayaan terhadap institusi politik akan menguat. Terlebih di era digital saat ini, aspirasi publik dengan cepat menyebar dan dapat menciptakan tekanan sosial yang signifikan. Banyak kalangan, termasuk akademisi, aktivis, dan mantan pejabat sipil, menyerukan agar pemerintah membuka ruang dialog yang jujur dan inklusif. Pengesahan UU TNI bukan hanya soal legal formal, tetapi menyangkut arah pembangunan demokrasi, supremasi sipil, dan perlindungan hak asasi manusia dalam sistem ketatanegaraan Indonesia.
Lebih dari itu, UU TNI akan menjadi preseden bagi relasi sipil-militer di masa depan. Jika pembatasan terhadap militer dilonggarkan tanpa pengawasan yang kuat, hal ini dapat memicu kecenderungan otoritarianisme yang selama ini berusaha dibongkar melalui reformasi 1998. Oleh karena itu, pemantauan dari publik, media independen, serta lembaga-lembaga pengawas demokrasi menjadi kunci. Keputusan Mahkamah Konstitusi dan sikap politik elite akan diuji, bukan hanya di atas kertas hukum, tapi dalam sejarah bangsa ke depan. []
Reporter: Sammy