Pengelolaan Sampah di Indonesia Harus Bisa Atasi Masalah Iklim

Share

Nukilan.id – Diperingati secara rutin, Hari Peduli Sampah Nasional (HPSN) yang tidak pernah absen menjadi agenda untuk menyuarakan kepedulian sampah dari berbagai pihak kembali disorot pada tahun ini.

Jatuh tepat di setiap tanggal 21 Februari, sesuai namanya HPSN selama ini selalu menekankan kepada aksi nyata pengelolaan sampah yang berpegang pada konsep 3R atau reduce, reuse, dan recycle (mengurangi, menggunakan kembali, dan mendaur ulang).

Sejalan dengan keharusan memasuki babak baru yang disesuaikan dengan kondisi alam serta lingkungan saat ini, pengelolaan sampah kekinian dinilai tidak cukup hanya dengan mengandalkan prinsip 3R. Secara nyata, pengelolaan sampah di Indonesia dinilai harus dibarengi dengan aksi nyata terhadap penanggulangan masalah perubahan iklim.

Hal tersebut ditegaskan oleh Rosa Vivien Ratnawati, selaku Direktur Jenderal Pengelolaan Sampah, Limbah, dan Bahan Beracun Berbahaya (B3), pada konferensi pers virtual yag berlangsung di Jakarta, (16/2/2022).

“Sudah bukan memilah dan mendaur ulang saja. Sampah itu sudah harus bisa memberikan kontribusi pada penurunan emisi gas rumah kaca,” tegasnya.

Menurut KLHK, langkah tersebut penting karena sampah sendiri merupakan hal paling berpengaruh dari terjadinya kondisi perubahan iklim di tingkat paling dasar. Bagaimana caranya agar target pengelolaan sampah yang lebih berkembang ini bisa berjalan?

Progam kampung iklim (Proklim)

Untuk mendukung upaya tersebut, sama halnya seperti tema yang didorong pada peringatan HPSN di tahun 2022, kini pihak KLHK diketahui tengah mendorong sebuah program yang mengusung konsep Kelola Sampah, Kurangi Emisi, dan Bangun Proklim.

Saat ini, KLHK disebut sudah mempersiapkan sekitar 3.000-an kampung iklim yang tersebar di berbagai wilayah Indonesia, untuk menjadi bagian dari program yang dimaksud. Salah satu program yang akan ditekankan pada pengembangan proklim adalah pengelolaan sampah baik yang berjenis limbah padat maupun cair dari hulu ke hilir.

Ke depannya, setiap kampung yang masuk dalam program kampung iklim akan mendapatkan pengawasan mengenai kontribusinya dalam menjalankan peran pengelolaan sampah, terutama yang berjenis organik agar dapat mengurangi emisi GRK.

Karena penurunan emisi GRK sendiri mengacu pada sampah berjenis limbah organik, maka besar kecilnya kontribusi suatu kampung dalam mengatasi masalah perubahan iklim akan diukur dari banyaknya volume limbah organik yang berhasil dikelola.

Harapannya, setiap kampung yang terdaftar dalam proklim akan mampu mengelola sampah atau limbah organik sebanyak satu hingga dua ton setiap harinya, untuk memberikan dampak perubahan yang dapat terukur secara signifikan.

Salah satu upaya pengelolaan sampah yang paling mudah untuk dapat diukur kontribusinya dalam upaya pengurangan emisi GRK adalah pengolahan limbah organik berupa kotoran ternak menjadi biogas, seperti halnya yang sudah berjalan di Desa Cabbeng, Bone, Sulawesi Selatan dan Desa Mundu, Klaten, Jawa Tengah.

Dengan bimbingan dan pengawasan dari pihak KHLK, dua kampung atau desa tersebut diketahui sudah dapat mengelola sendiri pasokan kotoran bahan baku biogas berupa limbah sapi yang berasal dari ternak warga.

Biogas yang berhasil dibuat selama ini telah dimanfaatkan oleh mereka sebagai sumber energi listrik dan gas elpiji, tujuannya adalah untuk menggantikan kebergantungan terhadap bahan bakar fosil.

Membahas secara detail dan sederhana mengenai cara kerja pengelolaannya, para peternak sudah lebih dulu difasilitasi dengan pembekalan cara membuat penampungan dan teknologi biogas berupa biodigester yang posisinya lebih rendah dari kandang sapi. Saat kotoran sapi sudah terkumpul, mereka membersihkan lantai kandang agar kotoran tersebut berpindah ke bak penampungan yang ada di level bawah.

Setelah ditampung, kotoran sapi dihancurkan lalu diaduk menggunakan kayu dan didiamkan sekitar dua jam. Setelah itu, kotoran sapi akan berpindah ke tabung fiber dan menjadi gas. Untuk menyalurkan gas dari tabung fiber, di pinggiran tabung fiber dipasangi kabel yang siap menyalurkan biogas ke kompor dan digunakan sebagai bahan bakar pengganti elpiji.

Gas dari limbah organik kotoran sapi ini diyakini akan memiliki kualitas yang semakin baik saat musim panas. Dari proses yang sudah berjalan, diketahui jika setiap 12 kilogram limbah organik berupa kotoran sapi yang sudah terolah menjadi biogas, hasilnya dapat disalurkan ke sebanyak empat rumah tangga untuk memenuhi kebutuhan listrik dan gas selama dua hari.

Dalam praktiknya, pengelolaan sampah atau limbah organik dengan cara ini terbukti ampuh mengurangi emisi GRK yang memengaruhi perubahan iklim, karena pelepasan gas metana (CH4) ke atmosfer dapat tercegah berkat diserap ke penampungan limbah organik berupa biodigester, untuk diubah ke dalam bentuk biogas. [GNFI]

spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img

Read more

Local News