NUKILAN.id | Banda Aceh – Pemilu 1999 menjadi ajang banyak partai Islam untuk unjuk gigi. Pasalnya, saat itu disahkan UU No 2 Tahun 1999 yang mengganti aturan UU No 3 Tahun 1985 tentang ideologi parpol. Aturan baru tersebut mengizinkan partai berdiri atas asas yang beragam, tak hanya Pancasila.
Maka muncullah partai-partai dengan beragam ideologi, termasuk partai Islam. Saat itu, terdapat sembilan parpol Islam yang ikut dalam Pemilu 1999.
Beberapa Pemilu digelar, ada fenomena menarik yang Nukilan.id lihat, Partai politik berbasis Islam hingga Pemilu terakhir tak pernah menjadi pemenang. Padahal, Indonesia merupakan negara dengan populasi umat Islam terbesar di dunia.
Menurut data web resmi Komisi Pemilihan Umum (KPU), pada Pemilu 1999 partai Islam mendapatkan 34,2 persen suara, lalu pada Pemilu 2004 mengalami peningkatan menjadi 43,27 persen suara. Namun, pada Pemilu 2009 jumlah suara partai Islam turun menjadi 30 persen. Pada Pemilu 2014 mengalami peningkatan dengan perolehan 31,41 persen. Sedangkan, pada Pemilu 2019, lima partai berbasis Islam hanya mampu mendapat 30 persen suara.
Fenomena ini tentu menimbulkan tanda tanya, kenapa partai berbasis Islam tidak mampu menjadi pemenang pemilu? Untuk menjawab fenomena tersebut, Nukilan.id mencoba menghubungi Pengamat Politik Universitas Malikussaleh, Teuku Kemal Fasya.
Menanggapi fenomena tersebut, Teuku Kemal Fasya, mengatakan ada beberapa faktor yang menjadi alasan kenapa partai berbasis Islam tidak pernah memenangkan pemilu.
Pertama, karakteristik politik nasional di Indonesia lebih menyukai hal yang moderat. Sejak awal pendirian Republik Indonesia, bapak pendiri bangsa Indonesia tidak menginginkan polarisasi yang berbasis agama ikut menentukan atau menjadi kekuatan utama dalam politik nasional.
“Misalnya Soekarno sendiri walaupun di Kabinetnya pernah ada Partai Masyumi dan bahkan mereka memberontak melalui PRRI, itu tidak pernah menjadi kekuatan utama,” ujar Teuku Kemal Fasya.
Kedua, kualitas sumber daya manusia pada partai berbasis Islam sangat mempengaruhi orang memilih partai tersebut. Masyarakat Indonesia dominan akan memilih sosok yang memiliki kemampuan membangun Islam yang moderat.
Hal tersebut dibuktikan perolehan suara PKB yang lebih besar dibandingkan perolehan suara dari partai berbasis Islam lainnya. Hal tersebut juga tidak terlepas dari PKB yang hadir dengan semangat moderasi sejak awal berdirinya.
“Gusdur mendirikan PKB bukan ingin menonjolkan semangat Islamisme dan Gusdur tidak mau sama sekali menjadikan agama Islam itu sebagai politik identitas dalam berpolitik,” katanya.
Faktor ketiga, role model tokoh politik di Indonesia adalah dari kalangan priyai seperti Soekarno dan Mohammad Hatta. Kelompok priayi tidak pernah menonjolkan simbol keislaman untuk kepentingan politik, akan tetapi yang ditonjolkan adalah simbol keindonesiaannya. Hal tersebut berbeda dengan di timur tengah terutama di Maroko. Role model tokoh politik di Maroko lebih kepada kaum Agamawan (sufisme).
“Jadi kaum priayi itu adalah kaum terdidik Islam yang tidak punya pikiran bersifat polos, mereka memiliki pemikiran maju dan modern serta juga melakukan kritik terhadap praktek khurafat atau takhayul,” ucap Pengamat politik Universitas Malikussaleh tersebut.
Reporter: Akil Rahmatillah