NUKILAN.id | Opini – Dalam jagat politik Indonesia, perdebatan mengenai frekuensi pemilu tak pernah surut. Belum lama ini, anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR dari Fraksi NasDem, Muslim Ayub, melontarkan usulan kontroversial: menggelar pemilu setiap 10 tahun. Usulan ini, meski berlandaskan niat untuk mengurangi beban biaya politik, menuai kritik tajam dari Ketua Fraksi PKB DPR RI, Jazilul Fawaid, yang menyebutnya “konyol”.
Pernyataan Jazilul membuka tabir perdebatan lebih dalam mengenai argumen di balik usulan ini. “Konyol, usulan kok menggunakan parameter masalah dirinya sendiri,” ujar Jazilul, yang menekankan bahwa evaluasi pemilu seharusnya tidak menggunakan rumus perdagangan. Ia mempertanyakan alasan di balik pemikiran Ayub yang terfokus pada masalah biaya dan keuntungan modal.
Memang, persoalan biaya pemilu adalah isu yang kompleks. Muslim Ayub menjelaskan betapa besar uang yang dikeluarkan untuk mengikuti pemilu, dengan minimal biaya mencapai Rp 20 miliar per peserta. Usulan pemilu 10 tahun sekali tampaknya merupakan refleksi dari keinginan untuk merampingkan pengeluaran dan mencari cara lebih efisien dalam mengelola dana politik. Namun, benarkah pendekatan ini solusi yang tepat?
Usulan Ayub mengundang kita untuk merenungkan lebih dalam tentang esensi pemilu itu sendiri. Pemilu bukan sekadar mekanisme untuk memilih pemimpin, tetapi juga merupakan bagian dari proses demokrasi yang berfungsi sebagai cerminan suara rakyat. Dengan mengubah frekuensi pemilu menjadi 10 tahun sekali, kita bisa saja kehilangan momentum untuk mendengarkan dan memahami dinamika masyarakat yang terus berkembang. Apa artinya efisiensi biaya jika demokrasi yang kita jalankan menjadi stagnan?
Di sisi lain, kritik Jazilul seolah menjadi pengingat bahwa pemilu tidak bisa dipandang semata-mata dari sudut pandang finansial. Pendekatan “dagang” yang ditudingkan Jazilul kepada Ayub menunjukkan bahwa ada dimensi etis dalam politik yang harus diperhatikan. Pemilu adalah proses yang harus melibatkan partisipasi aktif dari masyarakat, bukan hanya sekadar kalkulasi untung rugi semata.
Sebagai masyarakat, kita seharusnya lebih kritis dalam menanggapi usulan-usulan semacam ini. Alih-alih mengusulkan perubahan yang mungkin mengorbankan hak suara kita dalam jangka panjang, sebaiknya kita mendorong perbaikan sistem pemilu yang lebih inklusif dan partisipatif. Misalnya, dengan mengoptimalkan penggunaan teknologi untuk mengurangi biaya, meningkatkan transparansi, dan mempercepat proses penghitungan suara.
Perdebatan tentang frekuensi pemilu tidak hanya berkisar pada angka, tetapi juga pada kualitas demokrasi yang kita jalani. Mari kita jaga pemilu sebagai sarana untuk mengekspresikan suara rakyat, bukan sekadar ajang perhitungan modal. Sebuah demokrasi yang sehat adalah yang mampu beradaptasi dan mendengarkan aspirasi rakyat, bukan yang terjebak dalam perhitungan finansial yang sempit.
Sebagai penutup, alangkah baiknya jika semua pihak, baik itu politisi maupun masyarakat, membuka dialog yang konstruktif tentang pemilu kita. Dengan cara ini, kita bisa menemukan solusi yang bukan hanya efisien, tetapi juga efektif dalam menjaga demokrasi Indonesia tetap hidup dan berkembang. (XRQ)
Penulis: Akil Rahmatillah (Alumni Ilmu Pemerintahan-USK)