Peluang dan Tantangan Pengelolaan KEK Arun oleh Pemerintah Aceh

Share

NUKILAN.id | Opini – Pernyataan mengejutkan datang dari Wakil Gubernur Aceh, Fadhlullah, saat mengunjungi kantor PT Patriot Nusantara Aceh (Patna) di Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Arun, Kamis, 8 Mei 2025. Ia menegaskan bahwa Presiden Prabowo Subianto setuju untuk menghibahkan aset pelabuhan dan KEK Arun kepada Pemerintah Aceh. Bukan dipinjamkan, tapi dihibahkan. Ini bukan sekadar kabar baik, melainkan potensi titik balik dalam sejarah desentralisasi ekonomi Aceh.

Namun, pertanyaannya kini bergeser dari “mungkinkah?” menjadi “siapkah Aceh?”. Pengalihan pengelolaan KEK Arun ke Pemerintah Aceh adalah peluang besar, namun juga mengandung tantangan kompleks yang menuntut kesiapan hukum, politik, dan kelembagaan. Jangan sampai momentum langka ini justru menciptakan preseden buruk karena ketidaksiapan daerah.

Peluang Emas dari Komitmen Politik

KEK Arun merupakan kawasan strategis yang dibangun di atas infrastruktur eks-LNG Arun, dengan potensi besar di sektor energi, petrokimia, dan logistik. Selama ini, kendali kawasan berada di tangan pusat melalui Lembaga Manajemen Aset Negara (LMAN) dan Badan Pengusahaan KEK yang bertanggung jawab langsung kepada Kementerian Investasi/BKPM.

Pernyataan Fadhlullah bahwa Presiden Prabowo siap menghibahkan aset kepada Aceh adalah sinyal politik luar biasa, yang bisa membuka jalan bagi pergeseran paradigma pengelolaan kawasan ekonomi nasional. Jika terealisasi, Aceh akan menjadi daerah otonomi khusus pertama yang mendapat kedaulatan pengelolaan KEK secara penuh.

Langkah ini bisa menjadi model baru relasi pusat-daerah di tengah semangat otonomi asimetris. Tak hanya memberi ruang partisipasi daerah, tapi juga memperkuat legitimasi politik Presiden di mata rakyat Aceh—yang selama ini sering merasa terpinggirkan dalam pengelolaan sumber daya.

Tantangan Regulasi dan Kelembagaan

Namun, di balik kabar baik itu, terbentang tantangan regulatif yang tidak kecil. UU Nomor 39 Tahun 2009 tentang KEK tidak mengatur pengalihan pengelolaan kawasan kepada pemerintah daerah. Artinya, meskipun Presiden menyetujui secara politik, pengalihan ini tetap memerlukan dasar hukum formal, seperti Peraturan Presiden (Perpres) atau bahkan revisi undang-undang.

UU Otonomi Khusus Aceh (Nomor 11 Tahun 2006) memang memberikan kewenangan luas kepada Aceh dalam mengelola sumber daya ekonomi. Tapi pelaksanaannya selalu berbenturan dengan regulasi nasional yang lebih umum. Ini adalah pekerjaan rumah DPR Aceh dan Pemerintah Aceh untuk membangun argumen hukum dan mendorong perubahan regulasi di tingkat pusat.

Selain itu, Aceh juga perlu membuktikan kesiapan kelembagaannya. Mengelola KEK bukan perkara sederhana. Diperlukan badan pengelola profesional, sistem birokrasi yang efisien, dan jaminan kepastian hukum bagi investor. Tanpa itu, kepercayaan investor bisa runtuh hanya karena kekacauan administrasi.

Antara Nasionalisme dan Lokalitas

Perlu diingat, KEK Arun bukan kawasan sembarangan. Ini adalah kawasan berbasis energi, yang dalam konteks ketahanan nasional, merupakan aset strategis negara. Karena itu, pemerintah pusat tentu tak akan serta-merta melepas kendali tanpa jaminan bahwa kepentingan nasional tetap terjaga.

Di sisi lain, jika Aceh mampu menunjukkan bahwa pengelolaan oleh daerah bisa menghasilkan efisiensi ekonomi, meningkatkan kesejahteraan rakyat, dan mempercepat investasi, maka ini bisa menjadi model desentralisasi baru bagi daerah lain di Indonesia.

Namun, integrasi nilai-nilai lokal juga perlu diperhatikan. Syariat ekonomi dan pendekatan kultural khas Aceh bisa diimplementasikan selama tidak berbenturan dengan prinsip dasar KEK: efisiensi, keterbukaan investasi, dan kepastian hukum. Pemerintah Aceh harus mampu berdiri di antara dua kepentingan: nasionalisme dan lokalitas, tanpa menjatuhkan salah satunya.

Saatnya Aceh Membuktikan Diri

Pernyataan Wakil Gubernur Aceh tentang dukungan Presiden Prabowo terhadap penghibahan aset KEK Arun harus dibaca sebagai momentum strategis yang tak boleh disia-siakan. Namun jalan menuju kedaulatan ekonomi itu tidaklah mulus. Dibutuhkan kerja keras, kolaborasi lintas institusi, dan kemampuan mengelola kawasan secara profesional.

Aceh harus membuktikan bahwa ia tak hanya menuntut kewenangan, tetapi juga siap memikul tanggung jawab. Jika berhasil, ini bukan hanya kemenangan untuk Aceh, tapi juga kemajuan bagi model otonomi Indonesia ke depan. Namun jika gagal, maka kepercayaan yang telah diberikan pusat bisa berubah menjadi keraguan permanen.

Kini bola ada di tangan Pemerintah Aceh. Apakah mereka siap menyambut tantangan sejarah ini, atau sekadar menjadikannya wacana tanpa akhir? Waktu dan tindakan nyata yang akan menjawabnya. (XRQ)

Penulis: Akil

spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img

Read more

Local News