NUKILAN.id | Opini – Pasangan calon Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Aceh Selatan 2024, Amran-Akmal AH, atau yang dikenal dengan singkatan AMAL, muncul sebagai contoh menarik dari konsolidasi politik lokal dalam Pilkada Aceh Selatan tahun 2024. Pasangan ini merupakan simbol yang memaknai kembali arah politik lokal di wilayah yang kerap kali dibayang-bayangi oleh perpecahan partai politik lokal.
Diusung oleh dua partai lokal terbesar di Aceh Selatan, Partai Aceh (PA) dan Partai Nanggroe Aceh (PNA), pasangan AMAL menjadi simbol bersatunya dua kekuatan politik yang selama ini berada di posisi berseberangan. PA dan PNA, yang merupakan rumah politik bagi mantan kombatan Gerakan Aceh Merdeka (GAM), kini bergabung dalam satu koalisi untuk mendukung pasangan AMAL. Langkah ini tak hanya signifikan secara politik tetapi juga simbolis, menandakan berakhirnya fragmentasi di kalangan eks kombatan GAM yang selama ini terbagi dalam beberapa kubu politik.
Membangun Politik Lokal yang Sinergis
Keputusan PA dan PNA untuk bersatu dalam mengusung pasangan AMAL di Pilkada Aceh Selatan 2024 bukanlah langkah kecil. Ini adalah sebuah pernyataan tegas tentang pentingnya membangun politik lokal yang lebih sinergis dan inklusif. Dengan masing-masing partai memperoleh lima kursi di Pemilu Legislatif 2024, koalisi ini memperlihatkan bahwa politik lokal di Aceh Selatan bisa lebih maju jika perpecahan dihindari dan sinergi lebih ditekankan.
Lebih jauh, bersatunya PA dan PNA dalam mendukung pasangan AMAL merupakan langkah strategis untuk mengembalikan kepercayaan publik terhadap kemampuan partai-partai lokal dalam menghadirkan perubahan nyata. Penulis melihat, dengan bersatunya dua partai lokal terkuat ini, masyarakat Aceh Selatan kini dihadapkan pada pilihan politik yang lebih solid dan terarah, yang mengedepankan kepentingan bersama di atas perpecahan internal.
Mempertahankan Implementasi UUPA
Salah satu hal yang harus menjadi fokus dari koalisi ini adalah mempertahankan dan mengoptimalkan implementasi Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA) sebagai fondasi dalam membangun kekuatan politik lokal. UUPA, sebagai bentuk pengakuan atas kekhususan Aceh, memberikan ruang yang cukup besar bagi partai lokal untuk memainkan perannya. Dengan bersatunya PA dan PNA, harapan untuk mengimplementasikan UUPA secara maksimal semakin besar, terutama dalam menciptakan politik lokal yang lebih inklusif dan berkeadilan.
Menurut Penulis, konsolidasi ini bukan hanya tentang menang atau kalah dalam Pilkada. Ini adalah tentang bagaimana mantan kombatan GAM yang kini menjadi tokoh politik mampu membuktikan bahwa mereka bisa melampaui masa lalu dan bergerak menuju masa depan yang lebih bersatu dan berdaya guna. Keputusan untuk bergabung dalam satu koalisi adalah refleksi dari keinginan kuat untuk membangun komunikasi yang lebih baik dengan pemerintah pusat dan memastikan kesejahteraan rakyat Aceh, khususnya Aceh Selatan, tetap menjadi prioritas utama.
Bersatu untuk Kepentingan Bersama
Penulis menilai, fenomena bersatunya PA dan PNA dalam mengusung pasangan AMAL menunjukkan bahwa politik lokal di Aceh, khususnya Aceh Selatan, bisa menjadi role model bagi daerah lain. Dalam konteks politik Indonesia yang sering kali terpecah oleh kepentingan pribadi dan golongan, bersatunya dua partai lokal terkuat ini memberikan contoh bahwa kolaborasi dan persatuan untuk kepentingan bersama masih mungkin terjadi.
Langkah ini diharapkan dapat diikuti oleh wilayah-wilayah lain di Aceh yang masih terjebak dalam perseteruan politik. Dengan bersatunya kekuatan politik lokal, diharapkan Aceh dapat lebih maju dan sejahtera, dengan tetap mempertahankan identitas dan kekhususannya dalam bingkai NKRI.
Penulis berpendapat, pasangan AMAL, sebagai produk dari konsolidasi politik yang kuat ini, sudah seyogyanya membawa harapan baru bahwa persatuan dan kerjasama bisa menjadi jalan keluar bagi permasalahan yang dihadapi masyarakat Aceh. Kini, saatnya bagi semua kalangan untuk belajar dari fenomena ini dan terus mendukung setiap langkah positif yang diambil untuk kesejahteraan rakyat Aceh, baik di Aceh Selatan maupun di seluruh wilayah Aceh lainnya.
Penulis: Akil Rahmatillah (Alumni Ilmu Pemerintahan-USK)