NUKILAN.id | Banda Aceh – Rokok telah menjadi isu yang penuh paradoks di Indonesia, dilihat sebagai kebutuhan bagi sebagian, tapi dibenci oleh banyak orang lain. Ini adalah fenomena yang menciptakan ketegangan antara kepentingan ekonomi dan kesehatan. Di satu sisi, rokok menghasilkan pendapatan negara yang signifikan; di sisi lain, dampaknya terhadap kesehatan masyarakat menjadi perdebatan yang tidak pernah usai.
Penerimaan negara dari cukai rokok terus meningkat, seiring dengan bertambahnya jumlah perokok. Harga rokok yang terus naik tampaknya tidak menghalangi para perokok, yang tetap mencarinya walau dengan harga yang lebih mahal. Bahkan, jika harga rokok terus melambung, mereka cenderung mencari produk yang lebih murah, kadang melalui jalur ilegal.
Rokok bukanlah kebutuhan primer, namun bagi sebagian orang, merokok adalah bagian dari gaya hidup dan bahkan kebutuhan psikis. Para ahli mengingatkan bahwa rokok menciptakan ketergantungan yang tidak dapat dianggap enteng, karena miliaran rupiah berputar dalam industri ini.
Dalam hal ini, pemerintah berada dalam situasi yang rumit. Di satu sisi, sektor kesehatan berupaya untuk mengurangi dampak buruk rokok terhadap masyarakat. Namun di sisi lain, sektor industri dan keuangan melihat rokok sebagai salah satu sumber pendapatan negara yang signifikan serta menciptakan banyak lapangan kerja. Konflik kepentingan antar-sektor ini membutuhkan keseimbangan agar tujuan kesehatan masyarakat tercapai tanpa mengganggu stabilitas ekonomi.
Pada tahun 2023, Indonesia mencatat produksi rokok mencapai 318 miliar batang dengan cukai yang hampir mencapai Rp 250 triliun. Prevalensi perokok dewasa berada di angka 38,2 persen, atau sekitar satu dari tiga orang dewasa di Indonesia. Ini membuat Indonesia berada di peringkat delapan negara dengan jumlah perokok terbanyak di dunia. Sepuluh negara dengan perokok terbanyak sebagian besar berasal dari kawasan Asia Tenggara dan Eropa Balkan, negara berkembang atau miskin.
Permasalahan antara rokok dan kesehatan terus menjadi topik hangat. Data menunjukkan bahwa rokok berkontribusi pada meningkatnya angka penyakit dan kematian. Di sisi lain, tidak dapat dimungkiri bahwa bagi sebagian pemuda, rokok menjadi simbol semangat hidup.
Indonesia hingga kini belum meratifikasi Kerangka Kerja Pengendalian Tembakau (Framework Convention on Tobacco Control/FCTC), karena khawatir akan berdampak pada petani tembakau dan pendapatan negara. Meskipun begitu, upaya pengendalian telah dilakukan dengan berbagai kebijakan seperti pembatasan tempat merokok. Namun, efektivitasnya masih perlu dievaluasi.
Data menunjukkan bahwa cukai rokok terus naik dengan harapan konsumsi rokok akan menurun. Tapi kenyataannya, jumlah perokok malah bertambah. Ahli kesehatan berpendapat bahwa harga rokok di bawah Rp 100.000 per bungkus tidak akan cukup membatasi konsumsi. Mereka berpendapat, untuk benar-benar mengurangi prevalensi merokok, harga rokok harus dinaikkan lebih dari Rp 200.000 per bungkus, sehingga hanya mereka yang mampu yang bisa membelinya.
Rokok ilegal juga menjadi perhatian karena harganya lebih murah dan tidak memenuhi standar kesehatan. Pemerintah pun menggencarkan pengawasan dan penindakan terhadap peredaran rokok ilegal yang merugikan negara dari sisi pendapatan dan juga membahayakan kesehatan.
Langkah terbaru yang sedang dipertimbangkan adalah penggunaan kemasan polos untuk rokok, yang bertujuan menurunkan daya tarik produk tersebut. Namun, banyak pihak meragukan efektivitasnya. Mereka khawatir bahwa kemasan polos justru akan meningkatkan peredaran rokok ilegal, yang lebih murah dan sulit diawasi. Akibatnya, penerimaan negara bisa mengalami penurunan signifikan.
Situasi ini menunjukkan bahwa isu rokok di Indonesia adalah masalah yang kompleks, melibatkan berbagai sektor yang saling bertolak belakang. Sektor kesehatan memiliki kewajiban untuk menjaga kesehatan masyarakat, namun sektor keuangan dan industri bergantung pada kontribusi rokok terhadap pendapatan negara dan lapangan pekerjaan.
Kenaikan cukai, pembatasan area merokok, serta pengaturan kemasan polos merupakan langkah yang bertujuan untuk menurunkan jumlah perokok. Namun, kebijakan-kebijakan ini masih memerlukan kajian mendalam untuk mencapai hasil yang optimal tanpa mengganggu keseimbangan dalam masyarakat.
Pada akhirnya, pemerintah diharapkan dapat menciptakan regulasi yang menjaga kesehatan tanpa mengesampingkan aspek ekonomi. Dengan pendekatan yang bijak, isu rokok dapat dikelola agar masyarakat tetap sehat, sementara sektor ekonomi yang terkait tetap berkembang dalam batas yang tidak merugikan.
Editor: Akil