Paradoks Reformasi Hijau: Lingkungan di Persimpangan Janji dan Konsesi

Share

NUKILAN.ID | INDEPTH – Kerusakan lingkungan terus menggunung, sementara hasil eksploitasi sumber daya alam belum dinikmati secara adil. Deretan bencana yang melanda Sumatera menjadi cermin keras atas jurang antara ambisi reformasi hijau dan praktik kebijakan di lapangan.

Menjelang akhir 2025, hujan mengguyur berbagai wilayah Sumatera tanpa henti. Sungai melampaui kapasitasnya, perbukitan runtuh, dan tanah bergerak. Aceh, Sumatera Utara, hingga Sumatera Barat dilanda banjir bandang serta longsor yang merenggut korban jiwa dan melumpuhkan aktivitas warga. Infrastruktur terputus, jembatan terseret arus, lahan pertanian terkubur lumpur.

Rentetan bencana tersebut tak dapat dipandang sebagai fenomena alam semata. Ia merefleksikan kondisi kawasan hulu yang semakin rapuh. Deforestasi, menyusutnya daerah resapan air, serta lemahnya pengendalian tata ruang membentuk rangkaian sebab yang terus berulang. Aktivitas pertambangan, ekspansi lahan, dan perubahan bentang alam meninggalkan jejak panjang yang kerap luput dari penyelesaian struktural.

Situasi ini terjadi ketika pemerintahan Presiden Prabowo Subianto sedang mengusung agenda besar reformasi hijau. Dalam berbagai forum, Prabowo menegaskan komitmen terhadap isu lingkungan hidup, transisi energi, dan pembenahan pengelolaan sumber daya alam sebagai poros pembangunan nasional. Pada 10 Oktober 2025, pemerintah menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 109 Tahun 2025 tentang percepatan pengelolaan sampah perkotaan berbasis energi, yang menegaskan penghentian praktik open dumping di daerah-daerah dengan kondisi darurat sampah.

Namun, hampir bersamaan dengan itu, negara juga membuka kran baru bagi sektor pertambangan. Revisi Undang-Undang Mineral dan Batubara yang disahkan DPR pada awal 2025 memperluas dasar hukum pemberian izin usaha pertambangan kepada UMKM dan kelompok masyarakat. Kedua arah kebijakan tersebut berjalan beriringan, sama-sama dibungkus dengan narasi keberlanjutan. Di titik inilah muncul pertanyaan mendasar: seberapa kokoh kesiapan tata kelola negara menopang agenda hijau yang diklaim sebagai kompas pembangunan masa depan?

Ketertinggalan Sistem Pengelolaan

Pengamat kebijakan publik Universitas Indonesia, Roy Valiant Salomo, menilai bahwa persoalan utama dalam sektor pertambangan Indonesia tidak bersumber dari aktivitas pertambangannya sendiri. Ia menekankan bahwa persoalan krusial justru muncul dari lemahnya sistem pengelolaan yang dijalankan oleh negara. Kekurangan dalam aspek manajemen, regulasi, serta pengawasan dinilai telah menumpuk berbagai kerusakan lingkungan yang efek buruknya baru dirasakan masyarakat dalam jangka panjang.

“Menurut saya kegiatan pertambangan sih oke saja, ini kan praktik yang ada di seluruh dunia. Problem-nya adalah bahwa tata kelola di sekitar pertambangan baik di sisi Pemerintah maupun di sisi pengelola pertambangannya, apakah perusahaan swasta atau masyarakat pada umumnya buruk semua,” jelasnya kepada Inilah.com.

Lebih jauh, Roy menjelaskan bahwa buruknya tata kelola tersebut tidak hanya menyisakan persoalan ekologis, tetapi juga melahirkan ketimpangan sosial yang semakin tajam. Ia menilai pola pembangunan nasional yang selama ini terlalu bergantung pada eksploitasi sumber daya alam—terutama di sektor pertambangan dan kehutanan—telah menciptakan pembagian manfaat yang tidak adil bagi masyarakat luas.

“Pada akhirnya kita dapat lihat bahwa proses pembangunan yang memanfaatkan pertambangan dan kehutanan lebih banyak mendatangkan malapetaka bagi rakyat di satu pihak, dan mendatangkan keuntungan Keuangan bagi sekelompok orang saja, pada umumnya kaum elit politik maupun pebisnis,” ucap dia tegas.

Ia juga mengamati bahwa pola problematik tersebut terus berulang dalam pengelolaan aset negara, termasuk dalam wacana penyerahan ratusan ribu hektare lahan sawit hasil sitaan kepada BUMN. Menurut Roy, pergantian pihak pengelola tidak serta-merta menghadirkan perbaikan apabila fondasi tata kelola dan sistem pengawasan tidak dibenahi sejak awal.

“Siapapun yang mengelola negara, pebisnis atau masyarakat, tata kelola harus bagus termasuk pengawasannya,” kata dia.

Sampah yang Dipindahkan, Bukan Diselesaikan

Dalam sektor pengelolaan sampah, pemerintah kembali menegaskan komitmennya menutup praktik open dumping sebagai bagian dari kebijakan lingkungan nasional. Melalui Perpres 109/2025, arah kebijakan diarahkan pada pengolahan sampah menjadi energi, dengan negara bertindak sebagai penjamin pembelian listrik yang dihasilkan dari fasilitas tersebut. Namun, Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) menilai langkah itu berpotensi hanya menjadi solusi administratif apabila tidak diiringi dengan kesiapan sistem pengolahan yang terintegrasi dan menyeluruh.

“Ini terlihat sebagai sebuah Kebijakan yang kontradiktif, penutupan TPA tanpa disertasi dengan mempersiapkan ekosistem pengolahan yang lebih baik sama saja memindahkan titik baunya, bukan malah pengurangan sampah,” kata Juru Kampanye JATAM Alfarhat Kasman kepada Inilah.com.

Menurut JATAM, menutup TPA bukanlah jawaban tuntas atas persoalan sampah. Tanpa pembenahan dari sisi hulu—mulai dari pengurangan produksi sampah hingga penguatan sistem daur ulang—problem lingkungan hanya akan bergeser tempat. Beban risikonya pun tetap harus ditanggung oleh masyarakat, sementara akar persoalan tak pernah benar-benar diselesaikan.

Konsesi Baru, Kekhawatiran Lama

Kekhawatiran terhadap arah kebijakan pertambangan semakin menguat setelah pemerintah membuka ruang perizinan tambang bagi pelaku UMKM dan kelompok masyarakat. Bagi Jaringan Advokasi Tambang (JATAM), langkah ini justru dipandang sebagai kemunduran dari komitmen menuju tata kelola sumber daya alam yang berkelanjutan dan berorientasi pada reformasi hijau.

“Sementara itu, UU Minerba 2025, justru menjadi legitimasi atas perluasan sekaligus memperkuat aktor pemburu rente tambang baik itu dari level nasional hingga lokal,” kata Alfarhat.

Ia mempertanyakan narasi pemerintah yang menyebut kebijakan tersebut akan mendorong penguatan ekonomi di tingkat lokal. Menurut Alfarhat, pola lama justru berpotensi kembali berulang: akses konsesi hanya berputar di lingkaran kecil elit daerah yang memiliki kedekatan dengan pusat kekuasaan, sementara masyarakat di sekitar wilayah tambang harus menanggung dampak kerusakan lingkungan dan sosial.

“Kebijakan pemberian konsesi tambang kepada UMKM sama sekali tidak akan memperkuat ekonomi lokal, karena usaha ini juga hanya akan dinikmati oleh segelintir elit lokal, yang bisa saja terhubung dengan pemerintah,” ujarnya.

Lebih lanjut, Alfarhat menyoroti lemahnya kesiapan negara dalam mengantisipasi risiko ekologis dan kesehatan publik, terutama di kawasan dengan kapasitas lingkungan yang rentan. Ia menilai kebijakan ini tidak bisa dilepaskan dari dinamika politik dan kepentingan jangka menengah yang mengiringinya.

“Kami melihat pemerintah sama sekali tidak menyiapkan analisis risiko lingkungan ataupun kesehatan. Potensi adanya muatan politik untuk kepentingan 2029 itu sangat besar bisa terjadi,” ucap dia.

Pelajaran dari Kebijakan Lama

Pengamat energi Ali Ahmudi menilai bahwa polemik terkait praktik open dumping bukanlah persoalan baru. Ia mengingatkan bahwa wacana penghentian penggunaan TPA terbuka sejatinya telah mengemuka sejak masa pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Kendala utama yang menghambat implementasi kebijakan tersebut, menurutnya, berada pada aspek pendanaan, khususnya skema tipping fee yang selama ini menjadi beban berat bagi pemerintah daerah.

Ali melihat terdapat ruang perbaikan yang cukup besar apabila negara benar-benar hadir untuk menutup selisih biaya pengolahan sampah menjadi energi. Selama komitmen fiskal disiapkan secara serius dan implementasi kebijakan dijalankan secara konsisten, ia menilai kebijakan tersebut tidak menemui persoalan berarti.

“Nah dari sisi itu tidak ada masalah, selama komitmen itu ada,” tuturnya kepada Inilah.com.

Di sisi lain, Ali menekankan bahwa kebijakan pertambangan rakyat, terutama di sektor mineral dan batubara, harus dikelola dengan kehati-hatian yang jauh lebih tinggi. Ia mengingatkan, tanpa penerapan standar teknologi yang memadai, prosedur operasional yang jelas, serta pengawasan yang ketat, manfaat ekonomi dari aktivitas tambang berskala kecil justru berpotensi tidak sebanding dengan kerusakan lingkungan yang ditimbulkan.

Menurut Ali, kebijakan pengelolaan sumber daya alam tidak bisa dilakukan secara parsial dan terpisah-pisah. Tanpa koordinasi lintas kementerian serta kerangka regulasi yang kuat dan terintegrasi, bencana ekologis berisiko terus berulang.

“Manfaatnya yang diberikan belum tentu lebih besar dibanding kerusakan lingkungan. Jangan sampai kasus seperti banjir di Sumatera terulang lagi,” ucap dia.

Ia juga mengakui bahwa dalam sistem politik yang kompetitif, potensi penyimpangan tidak dapat dihindari. Namun demikian, arah kebijakan tetap dapat dijaga agar berpihak pada kepentingan publik selama mekanisme pengawasan dijalankan secara konsisten.

“Saya kira kebijakan itu baik untuk kepentingan masyarakat. Tinggal kebijakan itu dikawal,” katanya.

Di tengah berbagai janji reformasi hijau yang disuarakan, bencana yang melanda Sumatera hadir sebagai pengingat keras bahwa komitmen lingkungan tidak cukup hanya dituangkan dalam dokumen kebijakan atau pidato resmi. Tanpa perbaikan tata kelola yang nyata dan berkelanjutan, agenda reformasi hijau berisiko berhenti sebagai slogan, sementara masyarakat terus menanggung dampak ekologis yang semakin berat. (XRQ)

Reporter: AKIL

Read more

Local News