Pandangan Perempuan atas Dua Dekade Perdamaian Aceh

Share

NUKILAN.ID | BANDA ACEH – Dua puluh tahun setelah Nota Kesepahaman (MoU) Helsinki ditandatangani pada 2005, perdamaian Aceh kerap dipandang sebagai capaian besar. Namun, bagi perempuan, damai belum sepenuhnya menghadirkan keadilan. Representasi politik yang minim, hak korban konflik yang belum tuntas, hingga ancaman eksploitasi sumber daya alam masih menjadi pekerjaan rumah.

Isu ini mengemuka dalam webinar Refleksi Dua Dekade Perdamaian Aceh dalam Perspektif Perempuan yang digelar secara hybrid di Universitas Islam Negeri (UIN) Ar-Raniry, Banda Aceh, Senin (1/9/2025). Forum ini diinisiasi Flower Aceh bersama UN Women Indonesia, UIN Ar-Raniry, Sekolah HAM Perempuan, HMP AFI UIN Ar-Raniry, BEM Fisip USK, dan KKR Aceh. Sejumlah tokoh hadir, mulai dari ulama, penyintas konflik, jurnalis, pembela lingkungan, hingga akademisi.

Suraiya Kamaruzzaman, pengawas Balai Syura sekaligus penerima penghargaan perdamaian internasional, menegaskan pentingnya konsistensi pelaksanaan pilar Women, Peace, and Security (WPS).

“Pelibatan perempuan, terutama dari tingkat akar rumput harus dijamin dalam agenda pembangunan Aceh. Partai politik tidak boleh abai. Isu gender dan perdamaian harus masuk dalam visi pembangunan daerah, bukan sekadar jargon,” tegasnya.

Data BPS Aceh 2024 menunjukkan keterwakilan perempuan di DPR Aceh baru 8,97 persen, jauh dari kuota afirmasi 30 persen. Kondisi ini membuat isu perempuan sulit terakomodasi dalam kebijakan publik.

Luka Korban dan Tantangan Baru

Hasnah (47), penyintas konflik dari Aceh Utara, berkisah tentang hidup yang harus ia jalani sejak suaminya lumpuh akibat kekerasan aparat dua dekade lalu. Kini, ia menjadi tulang punggung keluarga untuk membesarkan empat anak.

“Saya jalani dengan sabar demi anak-anak. Walau bantuan pemerintah tak lagi kami rasakan, kehadiran Flower Aceh membuat saya merasa tidak sendirian,” ungkapnya.

Sementara itu, ulama perempuan Aceh Barat, Umi Hanisah, mengenang peran dayah yang dulu menampung anak-anak GAM dan TNI di masa konflik. Namun hingga kini, menurutnya, dayah masih termarjinalkan.

“Operasional, guru honor, listrik, dan air belum mendapat perhatian yang adil. Dayah masih seperti anak tiri,” ujarnya.

Rubama, aktivis lingkungan, mengingatkan bahwa ancaman baru kini datang dari eksploitasi sumber daya alam. “Meski dua dekade perdamaian Aceh patut disyukuri, ruang hidup masyarakat terutama perempuan masih terus terancam. Gerakan perempuan Aceh harus kembali terkonsolidasi untuk memperjuangkan keadilan lingkungan,” tegasnya.

Mainar, tuha peut perempuan di Banda Aceh, juga menekankan pentingnya keberlanjutan damai. “Menjadi tuha peut perempuan di tengah budaya patriarki bukan hal mudah. Tapi saya terus berjuang agar suara perempuan tak hilang. Perdamaian memberi ruang, namun keadilan bagi korban harus diwujudkan,” katanya.

Azizah, Ketua Aksarima Pidie, mengangkat isu perempuan eks kombatan. “Banyak yang masih belum memperoleh hak sesuai MoU Helsinki, mulai dari akses lahan hingga pemulihan trauma. Perdamaian sejati baru akan bermakna bila perempuan Aceh diakui, dilibatkan, dan diberdayakan,” ujarnya.

Peran Media dan Minimnya Anggaran

Selain pemulihan korban, merawat ingatan sejarah melalui karya jurnalistik dan memorial publik dinilai penting agar generasi berikutnya belajar dari pengalaman masa lalu.

“Setiap tulisan adalah tiang penyangga perdamaian. Jurnalis, khususnya perempuan, punya tanggung jawab menghadirkan narasi yang lebih manusiawi dan adil bagi perempuan Aceh,” kata Cut Nauval, jurnalis muda.

Namun, dukungan anggaran dinilai jauh dari memadai. Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA) mencatat hanya 0,12 persen APBA 2025 yang dialokasikan untuk pemberdayaan dan perlindungan perempuan. Padahal, data DP3A Aceh menunjukkan kasus kekerasan terus meningkat dari 905 kasus pada 2020 menjadi 1.098 kasus pada 2023. Hingga Agustus 2024, tercatat 571 kasus kekerasan terhadap perempuan dan 656 kasus terhadap anak.

“Anggaran harus berperspektif gender dan berkelanjutan. Tanpa itu, program pemulihan korban hanya sebatas seremonial,” tegas Riswati, Direktur Eksekutif Flower Aceh.

Lebih jauh, ia menambahkan, “Perempuan akar rumput telah membuktikan perannya dalam menjaga perdamaian dan membangun Aceh, meski dalam segala keterbatasan. Kini saatnya ruang sipil perempuan diperluas, suaranya didengar, dan partisipasinya diakui di semua lini.”

Komitmen Politik dan Pemerintah

Darwati A. Gani, anggota DPD RI, menegaskan bahwa perdamaian Aceh hanya akan bermakna bila diisi dengan keadilan gender. Ia berkomitmen memperjuangkan keterwakilan perempuan 30 persen di politik, mendorong peningkatan anggaran pro-gender menjadi minimal 10 persen APBA, memperluas layanan UPTD PPA, memperkuat pendidikan dan pelaporan berbasis komunitas, serta memastikan perempuan akar rumput terlibat dalam penyusunan RPJP Aceh 2025–2045.

Sementara itu, Kepala DP3A Aceh, Meutia Juliana, menyatakan bahwa pihaknya berkomitmen memperkuat perlindungan dan pemberdayaan perempuan melalui implementasi Qanun No. 9/2019 dan Qanun No. 4/2025, memperluas layanan UPTD PPA di seluruh kabupaten/kota, serta mempercepat penyusunan RAD P3KS.

Suara Nasional dan Internasional

Dwi Rubiyanti Khalifah, Country Representative AMAN Indonesia, menyoroti keberadaan KKR Aceh. “KKR harus dipertahankan sebagai model pengungkapan kebenaran dan keadilan transisional di Indonesia, bukan dibubarkan. Tanpa pemulihan korban, budaya impunitas akan terus hidup.”

Hal senada disampaikan Yuliati, Komisioner KKR Aceh. “Pemulihan menyeluruh harus mencakup reparasi ekonomi, layanan psikososial, hingga memorialisasi yang adil bagi korban, terutama perempuan,” ujarnya.

Dwi Yulianti Faiz, Kepala Program UN Women Indonesia, juga menegaskan bahwa perempuan harus dilihat bukan hanya sebagai penyintas, melainkan aktor strategis pembangunan damai. “Tantangan seperti rendahnya representasi politik, tingginya kekerasan, dan minimnya anggaran harus dijawab dengan kebijakan nyata,” ujarnya.

Wakil Ketua Komnas Perempuan, Dahlia Madanih, menutup forum dengan refleksi: “Perdamaian sejati bukan sekadar tiadanya konflik, melainkan hadirnya keadilan, kesetaraan, dan pengakuan bagi semua warga, khususnya perempuan.”

Rekomendasi Forum

Forum ini akhirnya melahirkan sejumlah catatan penting yang dianggap krusial untuk memastikan perdamaian benar-benar bermakna bagi perempuan. Para peserta menegaskan bahwa kuota keterwakilan perempuan sebesar 30 persen harus dijamin, mulai dari tingkat desa hingga provinsi, agar suara perempuan tidak lagi tenggelam dalam ruang politik.

Selain itu, anggaran pembangunan yang berpihak pada perempuan perlu ditingkatkan secara signifikan—dari hanya 0,12 persen menjadi setidaknya 10 persen APBA. Tanpa alokasi yang memadai, program pemulihan korban hanya akan berhenti di seremoni.

Perluasan layanan Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) ke seluruh kabupaten/kota juga dipandang mendesak, sehingga perempuan korban kekerasan tidak lagi harus menempuh jarak jauh untuk mencari perlindungan.

Di sisi lain, KKR Aceh dinilai harus diaktifkan kembali sebagai instrumen penting dalam mengungkap kebenaran dan memberikan keadilan transisional bagi korban. Pengalaman perempuan yang menjadi korban konflik juga harus didokumentasikan, agar menjadi bagian integral dari sejarah perdamaian Aceh, bukan sekadar catatan yang terlupakan.

Lebih jauh, perspektif gender mesti diintegrasikan ke dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) Aceh 2025–2045 dan seluruh dokumen perencanaan pembangunan lainnya. Dengan begitu, setiap kebijakan tidak lagi netral gender, tetapi benar-benar hadir untuk menjawab kebutuhan perempuan.

Dua dekade damai memang telah membuka ruang, namun suara perempuan di forum ini menegaskan: perjalanan menuju keadilan masih panjang dan belum selesai.

Editor: Akil

spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img

Read more

Local News