NUKILAN.id | Opini – Kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11 persen menjadi 12 persen yang akan diterapkan pada 1 Januari 2025 menjadi perbincangan panas di kalangan masyarakat. Langkah ini memicu penolakan dari berbagai pihak, dengan banyak kalangan yang menganggap kebijakan tersebut tidak adil. Salah satu yang menyoroti kebijakan ini adalah Wahyudi Askar, Direktur Keadilan Fiskal Center of Economic and Law Studies (Celios), yang berpendapat bahwa kenaikan PPN tersebut sangat merugikan masyarakat kecil. Celios, yang dikenal sebagai lembaga riset di bidang makro ekonomi dan kebijakan publik, dalam laporan terbarunya mengungkapkan bahwa 50 orang terkaya di Indonesia memiliki kekayaan yang setara dengan kekayaan 50 juta penduduk Indonesia.
Dalam sebuah video berdurasi 54 menit yang dipublikasikan di media sosial, Wahyudi Askar menjelaskan bahwa ketimpangan ekonomi yang kian melebar di Indonesia salah satunya disebabkan oleh kebijakan pajak yang tidak memadai. Ia mengaitkan ketimpangan ini dengan kebijakan pemerintah yang menaikkan PPN sementara di sisi lain masih banyak celah di sistem perpajakan yang menguntungkan orang-orang kaya. “Pajak yang diterapkan kepada masyarakat kelas menengah ke bawah sangat agresif, sementara kebijakan terhadap orang kaya terbilang lemah,” ujar Wahyudi dalam video tersebut.
Pajak menjadi salah satu faktor utama dalam ketimpangan ekonomi di Indonesia. Perusahaan-perusahaan besar, kata Wahyudi, justru menikmati insentif pajak yang sangat besar. Sementara itu, pajak kekayaan dan pajak aset yang dapat dikenakan kepada orang-orang kaya, jauh dari perhatian pemerintah. Menurutnya, pemerintah harus berani untuk menerapkan pajak kekayaan dan pajak aset yang lebih progresif, alih-alih menambah beban pada masyarakat yang sudah kesulitan dengan kenaikan PPN. Meskipun Indonesia memiliki pajak properti, yaitu Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), tarifnya hanya 0,1 persen, yang sangat rendah jika dibandingkan dengan negara-negara lain di Asia Tenggara, seperti Filipina, Vietnam, dan Singapura.
Penerapan pajak konsumsi seperti PPN memang sangat mudah dilakukan, namun sejatinya hanya menyasar masyarakat kelas menengah dan bawah. Pajak penghasilan hanya dikenakan pada mereka yang memiliki pekerjaan tetap, sementara orang kaya yang memiliki banyak aset tidak terkena pajak penghasilan. Ini jelas tidak adil, karena sebagian besar kontribusi pajak datang dari pajak konsumsi dan pajak penghasilan yang dibayar oleh kelas menengah, sedangkan orang kaya lebih sedikit memberi kontribusi melalui pajak.
Pemerintah seharusnya mempertimbangkan untuk memikirkan kebijakan pajak yang lebih adil dan merata, yang tidak hanya bergantung pada PPN atau pajak penghasilan yang menyasar orang-orang yang bekerja. Salah satu solusi yang bisa diterapkan adalah dengan meningkatkan pajak kekayaan dan pajak atas aset yang dimiliki oleh orang kaya. Kenaikan PPN tentu dapat dilakukan jika tidak ada alternatif kebijakan yang lebih baik, namun hal itu harus didukung dengan kajian akademik yang mendalam dan bukan hanya sekadar langkah mudah yang mengorbankan masyarakat kecil.
Pajak yang lebih progresif terhadap orang kaya dapat mengurangi ketimpangan ekonomi yang semakin dalam, dan membantu menciptakan keadilan fiskal yang lebih baik. Pemerintah harus berani membuat perubahan yang lebih substantif, bukan hanya menaikkan PPN, tetapi juga mereformasi sistem perpajakan secara keseluruhan, terutama untuk memastikan bahwa orang-orang kaya membayar pajak yang adil sesuai dengan kemampuan mereka. (XRQ)
Penulis: Akil