Saturday, April 20, 2024

Padi, Tanaman dari Surga yang Dipercayai Masyarakat Dayak

Nukilan.id – Kebudayaan bercocok tanam di Asia Tenggara dan Asia Pasifik dibawa oleh para penutur Austronesia. Sementara itu bukti-bukti kedatangan awal penutur Austronesia di Kalimantan saat ini sudah mulai tampak dari hasil beberapa penelitian.

Bukti-bukti kedatangan mereka, terutama di Pegunungan Meratus di Kalimantan Selatan, bisa ditelusuri dari kajian-kajian antropologi yang menempatkan padi dalam pusat kehidupan orang Dayak Meratus.

Temuan padi pada masa neolitik tertua di Kalimantan hingga saat ini ialah di Gua Niah, Serawak, berdasarkan temuan tembikarnya diperkirakan lebih tua dari 4000 Sebelum Masehi.

Pertanggalan tersebut lebih tua dibandingkan teori Out of Taiwan yang menyatakan bahwa menyebarnya para penutur Austronesia di Pulau Kalimantan baru dimulai sekitar 3500 Sebelum Masehi.

Sedangkan orang Dayak secara umum tinggal di kawasan pedalaman dengan beberapa rumpun besar seperti Maanyan, Ngaju, Iban, Ot Danum, Kenyah, Bahau, Tunjung, Kanayan, sementara Dayak Meratus terbagi dalam sub Dayak Ngaju dan Dayak Maanyan.

Saat ini masyarakat Dayak di pedalaman hanya sedikit yang hidup nomaden sebagai pemburu dan pengumpul makanan, tetapi sarana utama penghidupan sebagai besar adalah ladang berpindah,

“Kegiatan ladang berpindah mereka terutama melakukan penanaman padi gunung dan beberapa tanaman lainnya,” tulis Anne Schiller dalam buku Activism and Identities in an East Kalimantan Dayak Organization.

Perladangan mereka tergantung pada musim dan hidup di lahan tadah hujan. Bakumpai adalah perladangan sawah tadah hujan yang memanfaatkan air pasang surut. Ini sejalan dengan tempat tinggal mereka umumnya adalah di tepi sungai.

Persebaran bakumpai ada di Long Iram Kalimantan Timur, Tumbang Samba Kalimantan Tengah dan Bakumpai (Basahab, Ulu Benteng, Lepasan, Baliuk, Simpang Arja, dan Kampung Bentok) di Kalimantan Selatan.

Migrasi orang Dayak juga dipengaruhi oleh faktor ekologi. Ada kompetisi memperebutkan hutan sekunder di antara masyarakat peladang, dikarenakan membuka hutan primer lebih sulit dan memerlukan waktu yang lebih lama.

Selain itu, wilayah yang sudah didiami merupakan wilayah yang kaya akan sumber daya. Oleh karena itu, sering kali mereka memutuskan untuk bermigrasi ke tempat baru guna melakukan ekspansi (perang) dalam rangka memperoleh hutan sekunder.

Padi Tanaman Surga

Perekonomian masyarakat Dayak pada awal abad kedua puluh mengandalkan hasil pertanian dari padi gunung. Selain padi, beberapa masyarakat Dayak juga ada yang menanam umbi-umbian atau mengambil umbi yang tumbuh liar di hutan.

Namun, mereka tidak menganggap umbi-umbian tersebut sebagai makanan pokok. Menurut Peter Boomgaard masyarakat Dayak masih menganggap padi sebagai makanan pokok mereka.

Ketersediaan cadangan padi dalam sebuah kelompok masyarakat Dayak dapat digunakan sebagai alat pengukur kemakmuran suatu komunitas. Dalam dua hektare lahan padi gunung biasanya dapat menghasilkan hingga 200 Kg gabah dalam sekali panen.

Pada masa lalu, produksi padi ladang ini digunakan untuk bahan makanan pada tahun ladang berikutnya. Produksi padi nanti akan dibagi ke dalam tiga kegunaan, yaitu untuk bahan makanan sehari-hari, ritual, dan keperluan pertukaran barang.

Pertukaran ini sekarang biasanya dilakukan di pasar guna untuk mendapatkan uang tunai. Hasil panen biasanya tidak digunakan untuk keperluan lain. Namun sampai saat ini masih ada suku Dayak yang masyarakatnya pantang menjual padi.

Suku Dayak Meratus di Kalimantan Selatan adalah contoh produsen beras yang hanya menanam padi untuk dikonsumsi sendiri. Panen padi hanya sekali setahun, mereka berpantang menjual padi.

“Mereka pernah mengalami kesulitan akibat menjual padi. Pengalaman kekurangan padi di saat kemarau panjang mendera, membuat mereka kembali ke nasihat leluhur yakni pantang menjual padi,” tulis Ida Bagus Putu Prajna Yogi dari Balai Arkeologi Kalimantan Selatan dalam artikel Padi Gunung pada Masyarakat Dayak, Sebuah Budaya Bercocok Tanam Penutur Austronesia.

Menurut Setia Budhi, masyarakat adat di pegunungan Meratus menanam padi sebagai bagian dari kepercayaan terhadap asal-usul. Mereka percaya, jelas Setia, bahwa padi merupakan tanaman yang dibawa dari surga, saat nenek moyang manusia Adam dan Tihawa (Hawa) turun ke bumi.

Setia yang melakukan penelitian menyebut ada upacara yang menyakut hal bertani, seperti basumbu, yaitu ritual masyarakat untuk menyambut padi yang sudah berbuah. Hal ini jelasnya untuk meminta pertolongan agar padi tumbuh baik dan dihindarkan dari gagal panen.

“Pemulian ini, membuat padi orang Dayak Meratus sangat tahan lama. Padi yang dipanen lima tahun lalu masih tersimpan dengan baik di kindai (lumbung) di sekitar rumah tetua adat,” tulisnya dalam artikel berjudul Padi: Tanaman Surga Bagi Orang Dayak Meratus yang dimuat di Forest Digest.

Kelestarian Hutan

Masyarakat Dayak dalam melakukan aktivitas berladang tidak dilakukan secara serampangan. Pada dasarnya orang Dayak tidak berani merusak hutan, hal ini karena bagi mereka lingkungan adalah bagian dari hidup.

Orang Dayak terutama sebelum mengambil sesuatu dari alam, terutama menggarap hutan yang masih perawan harus memenuhi beberapa persyaratan tertentu yaitu memberitahukan kepada kepala suku dan mencari hutan yang cocok.

Setelah mendapat izin dan menemukan hutan yang cocok, mereka akan memberikan persembahan. Upacara pembukaan hutan itu segera dilakukan sebagai tanda pengakuan bahwa hutan atau bumi itulah yang memberi kehidupan bagi mereka.

Sistem perladangan di Long Pujungan Kalimantan Timur sama dengan sistem perladangan lain di Kalimantan. Lahan diperoleh dengan membuka hutan, baik primer maupun sekunder. Long Pujungan merupakan ladang yang hanya dipergunakan sekali saja, atau maksimal dua musim berturut-turut.

“Ladang yang telah dipakai dibiarkan menghutan kembali selama tiga sampai 25 tahun,” ucap Setia.

Masyarakat di Long Pujungan juga mengenal klasifikasi hutan seperti berikut:

  1. Bekan: bekas ladang tahun lalu
  2. Jekau cengalem: bekas ladang yang sudah dibiarkan menghutan selama 2 sampai 6 tahun
  3. Jekau lawan: bekas ladang yang sudah dibiarkan menghutan 7 sampai 15 tahun. Pohon yang tumbuh biasanya sudah mencapai diameter 15 sentimeter sampai 50 sentimeter
  4. Jekau lempan: bekas ladang yang sudah sulit ditaksir berapa tahun sudah dibiarkan menghutan, karena ukuran pohon biasanya berdiameter lebih dari 50 sentimeter
  5. Mba atau Mpa, hutan rimba

Dayak Bakumpai di sungai Barito Kalimantan Tengah dan Selatan dalam pembukaan lahan juga mengenal klasifikasi: 1) Bahu, 2) Labehu, 3) Padang, 4) Himba, 5) Kaleka, 6) Petak Jujung, 7) Petak Tagah, 8) Petak Gahung, 9) Petak Alas, 10) Petak Bahua dan 11) Petak Simpuk atau Manyimpuk.

Sementara Dayak Meratus memiliki sistem perladangan padi yang unik. Mereka mengenal perladangan dengan beberapa istilah membuka lahan (manabas), membakar lahan (manyakulut), membersihkan ladang sesudah dibakar (mambarasih), memasukan padi ke dalam lubang (manugal), membersihkan rumput (marumput), panen (mangatam), menyimpan padi (mangindai).

Dengan perkembangannya yang berabad-abad, jelas Sakti, petani Dayak Meratus mengembangkan pelbagai jenis padi dari dua varietas tersebut. Dalam penelitiannya telah ada 101 varietas lokal padi gogo dan 45 padi ketan yang ditanam.

Di antara 101 varietas padi gogo itu, katanya ada 38 varietas yang ditemukan pada lebih dari satu permukiman. Sisanya sebanyak 63 varietas hanya ditemukan pada satu komuniti, misalnya Buyung Putih, Buyung Kuning, Siam Unus serta Nakit, Tampiku, Kelapa, Badagai Putih, Carnik dan Radin.

“Bagi masyarakat adat di pegunungan Meratus, menanam padi merupakan salah satu strategis memelihara keragaman varietas padi gogo,” jelasnya. [GNFI]

spot_img
- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img

Must Read

- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img

Related News

- Advertisement -spot_img