NUKILAN.ID | Banda Aceh – Energi terbarukan seperti surya, angin, air, panas bumi, dan biomassa merupakan sumber energi yang dapat diperbarui secara alami dan berkelanjutan. Berbeda dengan energi fosil yang kian menipis dan berdampak besar terhadap lingkungan, energi terbarukan hadir sebagai solusi masa depan untuk mengurangi emisi karbon dan memperlambat laju perubahan iklim.
Namun demikian, di Aceh, pemahaman publik terhadap urgensi energi terbarukan dinilai masih minim. Hal ini diungkapkan oleh Muhammad Resqi, peneliti dari Pusat Pengkajian Lingkungan Hidup (P2LH), dalam keterangannya kepada Nukilan.id, Kamis (22/5/2025).
“Hal ini harus dilakukan secepatnya. Mengingat dalam dekade ini, Aceh merupakan daerah yang rentan terhadap bencana alam yang diakibatkan oleh krisis iklim; curah hujan tak menentu, banjir yang terjadi sepanjang tahun, suhu meningkat, kekeringan,” ungkap Resqi.
Ia menekankan bahwa bencana-bencana tersebut bukan hanya berdampak secara langsung pada lingkungan, tetapi juga memberi pengaruh luas terhadap kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat.
“Bencana alam tersebut berimplikasi pada sub yang lebih luas seperti kesehatan, gagal panen, serta kebutuhan rumah tangga yang menipis,” tambahnya.
Menurut Resqi, transformasi menuju energi terbarukan tidak hanya relevan dalam konteks global, melainkan juga menjadi kebutuhan mendesak bagi masyarakat lokal yang mulai merasakan dampak nyata dari krisis iklim.
“Kita perlu menyadarkan publik secara luas bahwa energi terbarukan adalah sektor yang bisa menjawab krisis iklim,” tegasnya.
Pernyataan ini menjadi pengingat bahwa tanpa kesadaran dan edukasi yang masif, masyarakat Aceh akan terus berada dalam siklus kerentanan terhadap dampak perubahan iklim.
Oleh karena itu, kolaborasi antara pemerintah, akademisi, dan masyarakat sipil dinilai penting untuk membangun budaya energi bersih demi masa depan Aceh yang lebih tangguh. (xrq)
REPORTER: AKIL