NUKILAN.id | Jakarta – Perancang utama Istana Garuda di Ibu Kota Nusantara (IKN), Nyoman Nuarta, merespons kritik publik terkait desain istana tersebut, termasuk tudingan mistis yang dialamatkan pada desain Garuda. Menurut Nyoman, setiap orang berhak memiliki persepsi masing-masing terhadap karya seni, termasuk desain Istana Garuda yang ia buat.
Nyoman menjelaskan bahwa filosofi desain Istana Garuda didasarkan pada upaya untuk menyatukan lebih dari 1.300 suku yang ada di Indonesia. Dalam wawancara dengan Antara, ia menyatakan bahwa pendapat publik mengenai desain tersebut mungkin dipengaruhi oleh latar belakang dan pengalaman masing-masing individu.
“Saya memilih Garuda sebagai ide dasar karena semua orang di Indonesia sudah mengenalnya. Selain itu, tidak mungkin semua identitas suku diakomodasi dalam satu bangunan. Saya ingin menghindari kecemburuan antar-suku,” ujar Nyoman pada Sabtu (10/8).
Menurut Nyoman, setiap suku di Indonesia memiliki ciri khas yang berbeda, mulai dari rumah adat hingga kerajinan. Oleh karena itu, ia memilih simbol Garuda, yang merupakan lambang negara, sebagai representasi yang paling netral dan diterima oleh semua suku.
“Garuda dipilih karena dikenal oleh semua suku sebagai lambang negara. Lambang Garuda Pancasila sendiri diciptakan oleh Sultan Hamid II dari Kalimantan, yang bukan berasal dari budaya Hindu,” tambahnya.
Nyoman juga menanggapi kritik dari kalangan arsitek yang dianggapnya muncul karena persaingan dalam kompetisi desain. Menurutnya, desain Garuda dipilih melalui proses kompetisi yang ketat, sehingga setiap pihak yang berkompetisi harus menerima hasilnya dengan lapang dada.
Lebih lanjut, Nyoman menjelaskan bahwa warna pada Istana Garuda, terutama di bagian depan, akan mengalami perubahan seiring waktu. Proses ini, yang dikenal sebagai patina, akan membuat permukaan logam berubah menjadi hijau kebiruan, mirip dengan warna Garuda Wisnu Kencana (GWK) di Bali.
“Proses patina ini akan berlangsung dalam 1 sampai 2 tahun, di mana warna bilah baja akan berubah dari kemerahan menjadi lebih gelap,” jelasnya.
Ia juga menanggapi kritik mengenai bentuk kepala Garuda yang dianggap mistis. “Garuda tampak gagah dengan kepalanya yang menengok ke depan. Terserah bagaimana orang memaknainya,” kata Nyoman.
Dengan desain yang sudah dipilih, Nyoman berharap Istana Garuda dapat menjadi simbol pemersatu bangsa yang tidak menimbulkan perpecahan atau kecemburuan antar-suku di Indonesia.
Editor: Akil