NUKILAN.id | Banda Aceh – Ketua Kelompok Kerja Rekonsiliasi Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) Aceh, Safriandi, mengungkapkan perspektif menarik tentang karakter masyarakat Aceh dalam menyikapi masa lalu, terutama mereka yang menjadi korban konflik.
Dalam sebuah sesi podcast bersama SagoeTV yang tayang beberapa waktu lalu, Safriandi menjawab pertanyaan host tentang apakah para korban sudah mampu memaafkan. Ia menyampaikan bahwa ada hal unik yang ia temukan di tengah masyarakat Aceh.
“Uniknya ya, saya tidak tahu ini boleh jadi adalah faktor pemahaman agama kita orang Aceh. Jadi peristiwa kelam itu tidak dilupakan, tapi juga terucap ‘yasudahlah, gimana kita buat, sudah begitu takdir.’ Nah, itu ada unsur memaafkan dari orang Aceh, dan itu luar biasa,” ungkap Safriandi dikutip Nukilan.id pada (7/5/2025).
Menurutnya, sikap tersebut tidak lepas dari nilai-nilai keagamaan yang mengakar kuat di kalangan masyarakat Aceh. Meski memori atas kekerasan masa lalu tetap hidup dalam cerita dan ingatan, banyak korban memilih untuk tidak membiarkan rasa dendam menguasai mereka.
Ia juga menyinggung soal ketangguhan masyarakat Aceh dalam menghadapi berbagai bencana, termasuk konflik dan tsunami. Dalam pandangannya, nilai kepasrahan dan semangat memaafkan menjadi faktor penting dalam proses pemulihan yang relatif cepat.
“Makanya kan kita tidak heran pasca tsunami pemulihan ini begitu cepat. Nah, itu satu hal positif yang kita dapatkan dari masyarakat Aceh yang kami rasakan langsung di lapangan,” lanjutnya.
Namun, Safriandi tidak menutup mata terhadap kenyataan bahwa luka itu tetap ada. Banyak warga yang masih menyimpan cerita pilu, bahkan setelah puluhan tahun peristiwa itu terjadi. Tetapi, menurutnya, kesedihan itu tak menghalangi mereka untuk tetap menjalani hidup.
“Mereka tetap bercerita dengan kesedihan dan segala macam peristiwa, pastilah itu manusiawi sekali,” ujarnya.
Bahkan ketika proses memaafkan belum sepenuhnya terjadi, Safriandi melihat adanya sikap pasrah dan penyerahan diri kepada keadilan Tuhan. Nilai ini, menurutnya, menjadi kekuatan batin tersendiri bagi masyarakat Aceh dalam menghadapi masa lalu.
“Tapi perasaan untuk kemudian menerima walau kadang tidak langsung dia memaafkan, tapi sudah pasrah dengan keadaan ‘Biarlah Allah yang menjadi saksi’ itu satu nilai positif yang kita dapat,” pungkasnya.
Pernyataan Safriandi membuka ruang refleksi bahwa rekonsiliasi di Aceh tidak melulu soal menghapus jejak luka, tetapi tentang bagaimana luka itu dihadapi dengan ketabahan, iman, dan sikap yang mendekatkan pada nilai kemanusiaan yang luhur. (XRQ)
Reporter: Akil