NUKILAN.id | Banda Aceh — Rencana pembangunan empat Batalyon Teritorial Pembangunan (UTP) di wilayah jajaran Kodam Iskandar Muda, masing-masing di Pidie, Nagan Raya, Aceh Tengah, dan Aceh Singkil, mendapat sorotan kritis dari Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Muda Seudang Aceh.
Muhammad Chalis, Juru Bicara DPP Muda Seudang Aceh, menilai kebijakan ini perlu ditinjau ulang karena dinilai berpotensi mengabaikan butir-butir kesepakatan damai dalam MoU Helsinki.
“Keberadaan TNI di Aceh dibatasi oleh MoU Helsinki. Dijelaskan bahwa jumlah tentara organik yang tetap berada di Aceh setelah relokasi adalah 14.700 orang,” ujar Chalis. Ia mengingatkan, relokasi tentara non-organik di Aceh mulai dilaksanakan sejak 15 September 2005, sebagai bagian penting dari upaya mengakhiri konflik dan membangun perdamaian berkelanjutan di Tanah Rencong.
Menurut Chalis, meskipun pihaknya memahami pembangunan Batalyon Teritorial bertujuan untuk memperkuat pertahanan nasional, namun langkah tersebut berpotensi berdampak pada penambahan jumlah pasukan di Aceh, yang dinilai tidak sejalan dengan semangat MoU Helsinki.
“Kami mengkritik kebijakan pembangunan ini akan mengesampingkan pengaturan keamanan di Aceh,” tegasnya.
Chalis menyoroti pentingnya komitmen semua pihak dalam menjaga prinsip-prinsip yang telah disepakati dalam MoU Helsinki. Ia mengutip Klausul 4.11 MoU yang menegaskan, dalam keadaan damai, hanya tentara organik yang diperbolehkan berada di Aceh dengan jumlah maksimal 14.700 personel.
“Kami menghimbau harus data yang jelas berapa sudah pasukan tentara organik di Aceh,” ucap Magister Ilmu Politik lulusan Universitas Malikussaleh tersebut.
Lebih lanjut, ia menegaskan bahwa setiap kebijakan pertahanan di Aceh seharusnya bertujuan untuk memperkuat perdamaian, bukan sebaliknya. Meskipun urusan pertahanan merupakan kewenangan Pemerintah Pusat, menurut Chalis, akta damai Helsinki tetap harus dihormati sebagai hukum tertinggi yang mengikat kedua belah pihak.
“Upaya pembangunan ini harus benar-benar menjadi dasar penguatan damai di Aceh. Walaupun kewenangan pertahanan di Aceh menjadi kewenangan Pemerintah Pusat tapi akta damai menjadi hukum tertinggi bagi kedua belah pihak secara prinsip,” tambahnya.
Chalis juga mendesak Kementerian Pertahanan untuk melakukan evaluasi atas kebijakan ini dan meminta agar pembangunan batalyon baru tidak mengesampingkan kebutuhan rakyat Aceh yang lebih mendesak.
“Kami tidak butuh pasukan, tapi butuh kebijakan pusat yang strategis di Aceh untuk meningkatkan taraf kehidupan rakyat Aceh,” tutupnya.
Editor: Akil