Nukilan | Banda Aceh – Ketua Komisioner pertama Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) Aceh, Afridal Darmi, menyatakan peluang pembentukan KKR Aceh terbuka lebar setelah penandatanganan Nota Kesepahaman (MoU) Helsinki pada 2005.
“Tidak pernah ada sebelumnya sebuah dokumen yang begitu kuat. Bodoh sekali kita kalau tidak mengambil kesempatan itu,” kata Afridal saat menceritakan pengalamannya dalam acara peringatan 20 Tahun Damai Aceh: Keadilan Transisi di pelataran Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Banda Aceh, Senin (11/8/2025) malam
Ia menambahkan, MoU Helsinki menjadi tonggak penting bagi pemajuan hak asasi manusia di Indonesia. “Hari ini, orang Aceh bisa menepuk dada dan mengatakan kalau tidak ada Aceh, Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (ICESCR) serta Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR) tidak akan pernah diratifikasi di Indonesia,” ujarnya.
Afridal menegaskan bahwa sejak awal pihaknya mendorong agar KKR Aceh terealisasi. Menurutnya, momentum besar pasca-MoU itu akhirnya berhasil diwujudkan, meski pelaksanaannya baru terwujud pada 2016 setelah melalui berbagai dinamika. Walau semangatnya saat itu naik turun, tapi berhasil mencapai sesuatu.
Dalam ceritanya, Afridal mengungkapkan peran Wakil Ketua Komisioner KKR Aceh pertama, Muhammad MTA, yang saat itu mengambil langkah tegas agar lembaga tersebut mendapat perhatian pemerintah. “MTA pernah mengancam lewat konferensi pers. Dia bilang kepada wartawan, kalau kami tetap tidak dipedulikan, SK Gubernur ini akan kami kembalikan. Biar semua orang tahu betapa pemerintah tidak mempedulikan KKR Aceh,” kata Afridal.
Menurutnya, ancaman tersebut akhirnya membuat pemerintah mulai memberikan perhatian serius terhadap keberadaan KKR Aceh. []
Reporter: Sammy