Sunday, September 8, 2024
1

Modul Fulus Haji Khusus: Mengurai Akar Korupsi di Tengah Ibadah

NUKILAN.id | Opini – Ibadah haji, sebagai salah satu rukun Islam, seharusnya menjadi momen sakral yang menjunjung tinggi nilai spiritual. Namun, ironisnya, ibadah ini malah menjadi ajang praktik korupsi dan politik. Tahun ini, penambahan kuota haji khusus di Indonesia menyoroti betapa kompleksnya masalah ini, dengan dugaan pelicin politikus dan pejabat Kementerian Agama untuk mendapatkan persetujuan tambahan kuota yang tidak sesuai dengan ketentuan undang-undang.

Kuota haji Indonesia untuk tahun ini telah ditetapkan sebanyak 221.000 orang, dengan klaim pemerintah bahwa ada tambahan kuota sebanyak 10.000 orang berkat lobi Presiden Joko Widodo kepada kerajaan Arab Saudi. Dari kuota tambahan ini, Kementerian Agama menetapkan 213.320 orang untuk haji reguler dan 27.680 orang untuk haji khusus. Namun, penambahan kuota ini, yang awalnya ditujukan untuk daerah-daerah seperti Kabupaten Landak di Kalimantan Barat dan Buru di Maluku, justru menimbulkan masalah serius.

Menurut Undang-Undang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah, haji khusus seharusnya tidak melebihi 20% dari total kuota haji per tahun. Dengan kuota tambahan, seharusnya jumlah jemaah haji khusus maksimal 19.280 orang. Namun, keputusan Kementerian Agama justru mengabaikan ketentuan ini dan tidak didasarkan pada kesepakatan dengan Komisi Agama DPR mengenai kuota haji khusus.

Lebih parah lagi, dugaan adanya praktik suap di kalangan anggota DPR menambah kompleksitas masalah. Para anggota DPR diduga menerima iming-iming uang pelicin antara 1.000 hingga 2.000 dolar AS per calon jemaah haji khusus untuk menyetujui tambahan kuota. Hal ini menjadikan setiap anggota komisi bidang agama DPR memperoleh setidaknya 100 hingga 500 jemaah haji khusus, yang setara dengan 100.000 hingga 500.000 dolar AS atau sekitar Rp1,5 miliar hingga Rp7,5 miliar.

Penambahan kuota haji khusus ini memang menawarkan keuntungan bagi calon jemaah yang mampu membayar lebih mahal, yaitu sebesar Rp560 juta hingga Rp960 juta, dibandingkan dengan haji reguler yang biayanya berkisar antara Rp56 juta hingga Rp93 juta. Dengan membayar lebih, mereka bisa mendapatkan fasilitas lebih baik dan waktu tunggu yang lebih singkat. Namun, ketidakadilan ini memunculkan pertanyaan mendasar tentang prinsip keadilan dalam penyelenggaraan ibadah haji.

Diskriminasi dalam penyelenggaraan ibadah haji membuka peluang bagi korupsi, baik di Kementerian Agama, biro perjalanan, maupun di kalangan anggota DPR. Pasal 68 Undang-Undang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah memungkinkan agen perjalanan untuk memungut biaya tambahan, yang akhirnya menjadikan jalur haji khusus lebih diminati oleh orang kaya yang ingin segera berangkat ke Mekah.

Untuk memperbaiki situasi ini, sudah saatnya dilakukan revisi Undang-Undang No. 8 Tahun 2019. Revisi harus mencakup penghapusan kategori haji khusus dan subsidi ongkos haji yang selama ini menguntungkan pihak-pihak tertentu. Subsidi yang saat ini mencapai 40% dari biaya haji reguler, yang diambil dari dana haji, sebaiknya dihapuskan. Dengan menghilangkan subsidi, biaya haji akan lebih sesuai dengan harga yang berlaku, dan antrean haji akan lebih pendek. Prinsip ibadah haji sebagai rukun Islam yang hanya bagi mereka yang mampu, sebagaimana diatur dalam Al-Qur’an Surat Ali Imran ayat 97, akan lebih terjaga.

Lebih jauh lagi, pemerintah sebaiknya menerapkan aturan yang membatasi jemaah haji hanya sekali seumur hidup, untuk menghindari penumpukan antrean dan penyalahgunaan kuota. Dengan langkah-langkah reformasi ini, diharapkan ibadah haji bisa kembali ke jalur yang benar, sesuai dengan nilai-nilai spiritualnya, dan jauh dari praktik korupsi dan politik yang merusak.

Penulis: Akil Rahmatillah (Alumni Ilmu Pemerintahan USK)

spot_img
spot_img
- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img

Must Read

- Advertisement -spot_img

Related News

- Advertisement -spot_img