Menyusuri Jejak Sejarah Hari Pendidikan Nasional 2 Mei

Share

NUKILAN.id | Jakarta – Setiap tanggal 2 Mei, bangsa Indonesia memperingati Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas). Bukan sekadar upacara seremonial, Hardiknas menjadi momen penting untuk mengenang perjuangan tokoh pendidikan Ki Hadjar Dewantara, serta merefleksikan kondisi pendidikan tanah air hari ini.

Penetapan tanggal 2 Mei sebagai Hari Pendidikan Nasional merujuk pada hari lahir Ki Hadjar Dewantara—tokoh pelopor pendidikan yang memperjuangkan hak belajar bagi semua lapisan masyarakat, terutama kaum pribumi yang pada masa kolonial Belanda sangat terpinggirkan dari akses pendidikan.

Dari Surat Presiden hingga Semboyan Abadi

Hardiknas secara resmi ditetapkan melalui Surat Keputusan Presiden RI Nomor 316 Tahun 1959, yang dikeluarkan pada 16 Desember 1959. Dikutip Nukilan.id dari dokumen Panduan Peringatan Hari Pendidikan Nasional (Kemendikbud, 2020), penetapan ini bertujuan untuk menghormati dedikasi Ki Hadjar Dewantara dalam dunia pendidikan, terutama perlawanan terhadap kebijakan kolonial yang diskriminatif.

Ki Hadjar Dewantara—yang lahir dengan nama Raden Mas Soewardi Soerjaningrat—adalah bagian dari kelompok Tiga Serangkai bersama Dr. Cipto Mangunkusumo dan Dr. Danudirdja Setyabudhi (Douwes Dekker).

Ketiganya dikenal lewat perjuangan mereka dalam pergerakan nasional, salah satunya lewat tulisan-tulisan kritis dan pendidikan kebangsaan. Sejarawan M.C. Ricklefs dalam bukunya Sejarah Indonesia Modern 1200–2008 mencatat peran besar Ki Hadjar dalam membentuk kesadaran nasional lewat jalur pendidikan.

Taman Siswa: Sekolah Rakyat yang Mengakar pada Budaya

Langkah besar Ki Hadjar dalam dunia pendidikan diwujudkan lewat pendirian lembaga pendidikan Taman Siswa pada 3 Juli 1922 di Yogyakarta. Lembaga ini berdiri dengan semangat melawan sistem pendidikan kolonial yang hanya diperuntukkan bagi anak-anak Belanda dan kaum bangsawan pribumi.

Taman Siswa membuka akses pendidikan untuk rakyat biasa dengan pendekatan budaya lokal dan nilai-nilai kebangsaan. Dalam buku Democracy and Leadership: The Rise of the Taman Siswa Movement in Indonesia, sejarawan Yasunori Tsuchiya menyebut bahwa Taman Siswa tidak hanya menjadi tempat belajar, tapi juga wadah pembentukan karakter bangsa Indonesia yang merdeka dan berdaulat.

Semboyan yang dirumuskan Ki Hadjar pun kini abadi sebagai filosofi pendidikan nasional:

“Ing Ngarsa Sung Tuladha, Ing Madya Mangun Karsa, Tut Wuri Handayani”
(Di depan memberi teladan, di tengah membangun semangat, di belakang memberi dorongan)

Frasa “Tut Wuri Handayani” bahkan diadopsi menjadi slogan resmi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, menegaskan warisan pemikiran Ki Hadjar yang masih relevan hingga kini.

Hardiknas: Momentum Refleksi Pendidikan

Setiap peringatan Hardiknas, berbagai kegiatan digelar di seluruh penjuru Indonesia. Mulai dari upacara bendera, pemberian penghargaan kepada guru dan siswa berprestasi, hingga diskusi kebijakan pendidikan.

Namun di balik perayaan, Hardiknas sesungguhnya adalah pengingat bahwa:

  • Pendidikan adalah hak setiap warga negara, tanpa diskriminasi;

  • Guru dan tenaga pendidik adalah pahlawan sejati, yang membangun karakter bangsa;

  • Sistem pendidikan harus terus diperjuangkan, agar merata dan berkualitas di seluruh Nusantara.

Lebih dari sekadar mengenang masa lalu, Hardiknas adalah ajakan untuk terus memperbaiki masa depan—agar cita-cita Ki Hadjar Dewantara tentang pendidikan yang memanusiakan manusia dapat benar-benar terwujud. (XRQ)

Reporter: Akil

spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img

Read more

Local News