NUKILAN.ID | BANDA ACEH – Di negeri ini, celah pelanggaran kerap disembunyikan dengan asap pencitraan. Para pejabat merasa telah lihai menutup jejak, padahal publik melihatnya dengan mata telanjang. Kasus pencabutan izin empat perusahaan tambang nikel di Raja Ampat, Papua Barat Daya, adalah contoh terbaru bagaimana ketidakberesan tata kelola sumber daya alam kembali terkuak, meski dibungkus dengan narasi heroik dari pusat kekuasaan.
Keputusan Presiden Prabowo Subianto yang mencabut izin itu semula tampak sebagai langkah tegas melindungi alam Papua. Namun bila ditelisik lebih dalam, langkah itu justru membuka borok yang lebih lebar: betapa penambangan nikel telah berlangsung secara ilegal dan merusak lingkungan sejak 2023, tanpa ada pengawasan berarti dari pemerintah.
Data menunjukkan, ada 16 perusahaan yang telah mengantongi konsesi di kawasan Raja Ampat, sebuah gugusan kepulauan eksotis yang dijuluki “surga terakhir di bumi”. Dari jumlah itu, lima perusahaan telah beroperasi secara destruktif, mengancam hutan dan ekosistem laut yang menjadi penopang hidup masyarakat adat setempat.
Ironisnya, publik baru benar-benar terperangah setelah Greenpeace Indonesia membuka praktik buruk ini dalam diskusi Critical Minerals Conference and Expo di Jakarta, 3 Juni 2025. Dalam forum yang diadakan oleh Asosiasi Penambang Nikel Indonesia dan Shanghai Metals Market—platform pasar logam asal Tiongkok—aktivis lingkungan memanfaatkan momen untuk membeberkan wajah gelap penambangan nikel di Papua.
Sudah lama diketahui bahwa industri nikel di Indonesia sarat dengan praktik koruptif: dari suap perizinan, konflik kepemilikan lahan, hingga pengabaian hak-hak masyarakat lokal. Sayangnya, pemerintah justru kerap berdiri di sisi pelaku, bukan korban.
Penerbitan izin tambang di Raja Ampat adalah bentuk nyata pelanggaran terhadap Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (yang direvisi pada 2014). Dalam beleid itu, Pasal 35 huruf K dengan jelas melarang aktivitas penambangan mineral di pulau kecil berukuran kurang dari 2.000 kilometer persegi. Dari sekitar 1.500 pulau di Raja Ampat, hanya Pulau Waigeo dan Misool yang melebihi ambang batas tersebut.
Celakanya, pemerintah tetap memberikan konsesi penambangan, bahkan di Pulau Gag, dengan alasan berada di luar kawasan geopark. Dalih itu jelas menyesatkan, sebab Undang-Undang tidak mengenal pengecualian berbasis status geopark. Ini bukan soal persepsi, melainkan hukum yang dilanggar terang-terangan.
Kisruh tambang nikel Raja Ampat juga menunjukkan lemahnya fungsi pengawasan dan penegakan hukum. Para pejabat seolah baru bertindak setelah dipaksa oleh protes publik. Padahal, sejak 2022 Presiden Joko Widodo telah menunjuk Bahlil Lahadalia sebagai ketua satuan tugas penataan penggunaan lahan yang bertugas mengevaluasi ribuan izin tambang. Dalam kapasitas itu, Bahlil sempat mencabut lebih dari 2.000 izin pertambangan, termasuk konsesi nikel yang bermasalah.
Namun, menjelang pelantikan sebagai Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Bahlil justru menerbitkan izin baru bagi perusahaan tambang di Raja Ampat, dan menghidupkan kembali izin yang sebelumnya dicabut. Alih-alih merasa bersalah, ia berdalih bahwa izin tersebut keluar sebelum dirinya menjabat sebagai menteri. Padahal, publik tak lagi bisa dibodohi oleh alibi-alibi teknokratis yang menutupi kepentingan bisnis dan politik.
Fenomena ini membuktikan bahwa hilirisasi yang selama ini diagungkan sebagai strategi menghidupkan ekonomi nasional, hanyalah kedok untuk menyedot kekayaan alam demi keuntungan segelintir elite. Mereka yang berdiri di belakang perusahaan tambang di Raja Ampat adalah kaum oligark—elit partai politik, kroni penguasa, dan para taipan tambang—yang menjadikan sumber daya mineral sebagai alat akumulasi kekayaan.
Sudah saatnya kita bertanya, untuk siapa sebenarnya kekayaan alam negeri ini dikelola?
Richard Auty, ekonom dari Lancaster University, pernah mengemukakan teori “kutukan sumber daya alam” (resource curse) dalam bukunya Sustaining Development in Mineral Economies (1993). Dalam pandangannya, negara-negara yang memiliki kekayaan alam melimpah justru cenderung terjebak dalam kemiskinan struktural karena korupsi, tata kelola yang buruk, dan eksploitasi berlebihan.
Indonesia tampaknya sedang menjalani kutukan itu dalam bentuk paling telanjang. Kita kaya, tetapi tetap miskin. Kita punya nikel, tetapi tidak punya daya tawar. Kita punya undang-undang, tapi tidak punya nyali menegakkannya. Lebih dari segalanya, kita punya pejabat, tapi kehilangan integritas.
Kisruh tambang nikel Raja Ampat adalah alarm keras bagi kita semua. Bila negara terus berpihak pada kekuasaan dan modal, maka rakyat akan terus menjadi korban. Saatnya masyarakat sipil memperkuat pengawasan, dan menagih akuntabilitas. Sebab tanpa perlawanan, kebijakan yang lahir bukan untuk menjaga bumi, melainkan untuk mengurasnya hingga habis. (XRQ)
Penulis: Akil