Menolak Lupa! Hari Ini 21 Tahun Lalu Presiden Megawati Berlakukan DOM di Aceh

Share

NUKILAN.id | Banda Aceh – Tepat pada hari ini, 21 Tahun silam, pemerintah Indonesia secara resmi meluncurkan Operasi Terpadu di Aceh, setelah Gerakan Aceh Merdeka (GAM) menolak ultimatum dua minggu untuk menerima otonomi khusus di bawah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Operasi ini menjadi yang terbesar sejak Operasi Seroja pada 1975 dan menandai eskalasi serius dalam upaya pemerintah memberantas pemberontakan di provinsi ujung barat Indonesia.

Berdasarkan informasi yang dihimpun Nukilan.id, Operasi Terpadu melibatkan pengerahan sekitar 30.000 prajurit TNI dan 12.000 personel polisi ke Aceh, dengan tujuan utama menghancurkan infrastruktur militer GAM. Langkah ini diambil setelah peringatan yang diberikan pemerintah Indonesia tidak diindahkan oleh pimpinan GAM yang berbasis di Swedia. Pemerintah Amerika Serikat, Jepang, dan Uni Eropa sebelumnya telah mendesak kedua pihak untuk menghindari konflik bersenjata dan melanjutkan perundingan damai di Tokyo, namun upaya tersebut tidak membuahkan hasil.

Pada 16 Mei 2003, pemerintah mengeluarkan pernyataan tegas bahwa tawaran otonomi khusus merupakan kesempatan terakhir bagi GAM untuk berkompromi. Penolakan terhadap ultimatum ini direspon dengan operasi militer berskala besar. Pada pukul 00.00 WIB, Presiden Megawati Soekarnoputri menandatangani keputusan untuk memberlakukan operasi militer di Aceh. Dengan ini, Aceh dikepung dari berbagai penjuru oleh pasukan gabungan TNI dan polisi.

Konflik berkepanjangan di Aceh telah berlangsung selama lebih dari tiga dekade, dengan GAM yang didirikan oleh Teungku Hasan Muhammad di Tiro, seorang keturunan pahlawan nasional Indonesia Tengku Chik Muhammad Saman di Tiro, berjuang untuk memisahkan diri dari Indonesia. Operasi militer di Aceh, yang dikenal dengan “Operasi Jaring Merah,” telah menimbulkan teror dan trauma mendalam di kalangan masyarakat sejak diberlakukan pada 1989 hingga 1998.

Selama periode Daerah Operasi Militer (DOM), berbagai pelanggaran HAM berat terjadi. Masyarakat Aceh mengalami berbagai bentuk kekerasan, khususnya mereka yang dianggap terlibat atau mendukung GAM. DOM berfokus di Aceh Utara, Aceh Timur, dan Pidie, daerah yang juga menjadi basis perusahaan besar seperti PIM (Pupuk Iskandar Muda), PT AAF, PT Kertas Kraft Aceh, dan Mobil Oil.

Keputusan untuk memberlakukan operasi militer ini didasarkan pada kegagalan pendekatan sebelumnya dalam menyelesaikan konflik. Pada 28 April 2003, pemerintah memberikan ultimatum dua minggu kepada GAM untuk menghentikan perlawanan dan menerima otonomi khusus bagi Aceh. Ultimatum ini diabaikan oleh pimpinan GAM di Swedia. Pemerintah menganggap bahwa penolakan ini mengindikasikan bahwa tidak ada itikad baik dari pihak GAM untuk menyelesaikan konflik secara damai.

Menjelang pelaksanaan operasi militer, Panglima Iskandar Muda Mayjen TNI Djali Yusuf telah mengumumkan status Siaga I di Aceh sejak 24 April 2003. Dua minggu sebelum pemberlakuan Darurat Militer, berbagai kontak senjata sudah terjadi di sejumlah lokasi. Pada 17 April 2003, pasukan TNI di Aceh telah bersiaga dengan jumlah mencapai 26.000 personel.

Pemerintah menyatakan bahwa operasi militer ini bertujuan untuk mengembalikan keamanan dan stabilitas di Aceh. Jumlah anggota GAM yang diperkirakan sebanyak 5.325 orang dengan kekuatan sekitar 2.000 senjata akan dihadapi oleh sekitar 60.000 pasukan gabungan TNI dan polisi. Hal ini menunjukkan kesiapan pemerintah untuk menumpas pemberontakan dengan kekuatan besar.

Selain operasi militer, gempa bumi dan tsunami yang melanda Aceh pada tahun 2004 turut berkontribusi dalam mengakhiri konflik. Bencana alam yang menghancurkan sebagian besar wilayah Aceh ini memaksa kedua belah pihak untuk menghentikan permusuhan dan memulai kembali upaya perundingan damai.

Pada 19 November 2003, Darurat Militer diperpanjang untuk enam bulan berikutnya melalui Keputusan Presiden Nomor 97 Tahun 2003, karena operasi sebelumnya dianggap belum mencapai hasil yang diharapkan. Operasi Terpadu ini menargetkan untuk melumpuhkan GAM sepenuhnya dan mengakhiri konflik berkepanjangan di Aceh.

Namun, berbagai pihak menilai bahwa pemerintah terlalu menyederhanakan masalah dengan menempatkan GAM sebagai satu-satunya faktor penyebab konflik. Banyak pihak menyarankan agar pemerintah juga introspeksi atas kebijakan yang selama ini diambil dan menjalankan upaya lebih komprehensif dalam menyelesaikan masalah Aceh, termasuk menangani isu pelanggaran HAM, ketidakadilan distribusi ekonomi, dan kegagalan pemenuhan rasa keadilan hukum masyarakat.

Operasi Terpadu ini diharapkan dapat membawa perubahan signifikan bagi keamanan dan kesejahteraan masyarakat Aceh. Meskipun demikian, tantangan besar masih menanti dalam upaya mencapai perdamaian yang berkelanjutan di wilayah yang telah lama dilanda konflik ini.

Reporter: Akil Rahmatillah

spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img

Read more

Local News